Sabtu, 08 Februari 2014

[ Freelance] Hurt City!

Author: Barokah Sholawati
Genre:  Hurt, Romance Etc.
Rate: PG - 15 / Straight
Cast: Find by your self

---oOo---


Seluruh kota London sudah terang walaupun sang benderang terhalang embun hitam yang mulai menumpahkan cairannya. Gadis ini termenung menatap melalui jendela apartementnya, kemudian mendesah untuk yang kesekian kalinya. Hari ini ia berharap dapat melangkahkan kaki untuk merilekskan lututnya yang sejak kemarin terasa nyeri akibat perjalanan panjangnya dari Seoul, Korea hingga menginjak tempat ini, sembari melihat kota London yang baru kali ini ia lihat dengan sebenar-benarnya. Namun cuaca tampaknya belum -atau tidak- mengijinkan keinginan gadis ini. Hujan seolah menertawakanya yang hanya dapat berdiri dan memandang bumi bagian barat ini dengan mata memantulkan embun yang dijadikan objek olehnya.

Namun, setelah menimbang-nimbang, sepertinya sayang jika hanya berdiam diri walaupun cuaca sedang tidak terlalu bagus seperti ini, pikirnya.

Gadis ini berbalik, menatap beberapa tas besar serta koper berwarna cokelat tua yang menjadi lemari serbaguna selama perjalanannya. Sebelum akhirnya ia melangkah dan dengan cepat menemukan benda yang barusaja terpikir olehnya sebagai penyelamat dikala hujan.

Payung sudah berada di genggamannya. Payung putih dengan corak bunga lily ini mengingatkannya pada musim hujan tahun lalu. Saat ia dan kekasihnya berjalan-jalan untuk perpisahan dikarenakan si pria yang dicintainya akan pergi menuntut pendidikkan di Negeri seberang. Benar, disinilah ia, sang kekasih yang hampir setahun sudah tak pernah ia pandang terkecuali di balik sebuah foto.

Gadis ini menghampiri koper, membuka resleting tas beroda ini dengan cekatan. Ia tatap sejenak tumpukan pakaian beraneka warna, hingga pilihannya jatuh pada coat cokelat sepanjang hingga lutut. Dikenakan olehnya dan terlihatlah gadis asia berparas cantik dengan stylenya terpampang mahal di cermin.

Senyum sudah menghiasi wajahnya ketika ia merampas kembali payung yang sebelumnya ia letakkan di atas ranjang. Kemudian ia meraih knop pintu dan mengunci ruangannya sebelum akhirnya ia berjalan melewati lorong apartemen dan masuk ke sebuah lift yang ternyata masih kosong. Ia memencet tombol 1. Tak berapa lama pintu lift terbuka, dengan santai ia melenggang keluar hingga berada di teras. Kedua tangannya bergerak untuk membuka payung.

Zeg

Gulungan payung ini menghasilkan suara ketika si gadis menekan kuncinya. Cembung sudah si payung di atas kepalanya. Ia menggenggam erat batang payung dan kakinya yang berbalut boot cokelat menginjak halaman yang sudah dialiri oleh hujan.

Pemandangan ketika ia berada di pinggir kota ternyata tak jauh berbeda dengan di Seoul, beberapa orang yang juga memegang payung di tangan berlalu-lalang bersamanya. Ia mengulas senyum, rasanya benar-benar bahagia dapat menginjakkan kaki di Negeri ini. Ternyata masa kecilnya hingga sekarang yang hanya dilewati dengan belajar membuat peruntungan sendiri baginya. Siapa sangka ia dapat lulus beasiswa dan menjadi salah satu dari ke-lima teman di Universitasnya yang juga mendapatkan kemenangan yang sama. Ia pun baru menyadari bahwa ternyata dirinya tak sebodoh yang dipikirkan.

Gadis ini memutar kepalanya ketika mencium aroma cappucino dari sisi kiri. Ia bersyukur ketika menyadari ternyata indra penciumannya masih berfungsi dengan baik, ditatap olehnya sebuah coffee shop bertuliskan Mouse and Rabbit. Matanya membulat, beberapa tanda tanya seolah muncul di atas kepalanya. Ia memiringkan wajah, menyipitkan mata, dan mulai berpikir secara logika.

"Yesung Oppa sudah membuka Coffe shop hingga ke tempat ini?" tanyanya dengan wajah bodoh. Kemudian kepalanya kembali menegak setelah tak menemukan jawaban dari siapapun. Baiklah, yang benar saja!

"Sepertinya bukan hal buruk jika aku mengecilkan suara badai dari perutku dengan sebuah cup cokelat panas," ia terkikik sebelum akhirnya melangkahkan kaki memasuki cafe yang ia curigai adalah milik kakak sepupunya yang tampan sekaligus aneh, Kim Yesung.

Ia mengedarkan pandangan. Walaupun masih pagi ternyata tempat ini sudah ramai, decaknya kagum. Lalu ia menuju ke tempat pemesanan hidangan. Ia mengambil menu burger dan cokelat panas. Ia tersenyum kikuk. Ternyata disini ada burger, ia mengatakan dirinya begitu tolol di dalam hati. Tak hanya itu saja, ketika memandang nampan berisikan makanan yang barusaja sampai di tangannya, rasanya ia jadi ingin tertawa. Menu yang aneh, baiklah, anggap saja aku benar-benar tidak tahu dengan hal ini dan ketahuilah, aku tak pernah menginjak Negara ini sebelumnya. Rasanya ia ingin mengucapkan kalimat itu pada sang waiters yang sudah lebih dahulu tersenyum aneh padanya, mungkin memang benar. Makanan dan minuman yang ia pesan tak cukup bagus untuk dipasangkan.

Hanya satu tempat kosong yang tersisa, dan itu adalah seperangkat meja dengan dua kursi saling berhadapan di sisinya yang terletak di dekat kaca transparan besar yang memampangkan lalu-lalang kendaraan serta pejalan kaki. Maka gadis ini membawa jasadnya ke sana. Ia mendudukkan diri di salah satu kursi dan meletakkan nampan berisikan menu aneh yang hanya akan terjadi cukup sekali ini sepanjang hidupnya. Ia meraih makanan yang dibungkus dengan tisu itu dan membungkam mulutnya dengan cukup kesulitan. Ia tak tahu apakah burger ini yang berukuran terlalu besar, atau malah mulutnya yang terlalu kecil. Baiklah, lupakan saja pemikiran bodoh ini.

Walaupun diakui sangat tak sepadan, namun gadis ini menikmati sarapan paginya di kota London. Terlebih pemandangan romantis yang sudah ia lihat pagi ini membuat semangatnya untuk bertemu dengan kekasihnya pun menjadi harapan yang besar. Walaupun sudah memasuki dua bulan sejak si kekasih putus komunikasi dengannya, namun ia yakin dapat menemukan pria itu. Tentu saja, ia dapat mencarinya ke Universitas tempat kekasihnya belajar, atau berkunjung ke alamat tempat tinggalnya, gadis ini bahkan sudah menghapal alamat itu karena selalu membacanya setiap hari.

Ia mengulas senyum dengan mata membulat senang ketika lagi-lagi dirinya melihat sepasang gadis dan pemuda berada di bawah satu payung. Salah satu tangan si pria memegang gagang payung, sementara satunya yang lain terlihat menggenggam erat tangan si gadis yang berada di sampingnya. Gadis ini mengaku sangat menyenangi hal yang romantis seperti yang dilihatnya sekarang. Namun tiba-tiba pandangannya membulat. Bukan, bukan karena senang, tapi ia terkejut. Bibirnya perlahan merunduk ke bawah, kedua matanya pun berangsur-angsur menyendu. Tangannya terasa diselimuti kabut walaupun nyatanya kini jemarinya melingkari cup cokelat panas.

"Oppa.." suaranya gemetar dan pelan seolah tengah berbisik. Namun siapa sangka yang kini ia maksud malah berhenti pula, dan itu tepat di hadapan kaca yang membatasi dirinya dengan si pria. Kau tahu siapa yang kumaksud? Benar, sepasang kekasih ini ternyata salah satu darinya sangat dikenal oleh gadis bermata cokelat ini.

"Gaein.."

Gadis ini dapat dengan jelas melihat kedua daun bibir sang pria menyebut namanya. Berarti ia tak salah mengenali, ia yakin hanya kekasihnya lah yang mengenal siapa dirinya di kota ini, tidak terkecuali.

Gadis ini cukup lama merasakan buram pada pandangannya. Genangan air mata melukiskan betapa lemahnya ia sekarang, mau tak mau ia relakan si bening pembukti kesedihan meluncur di wajahnya yang sudah merona karena amarah. Dan benar saja, si pria terlihat tergelak, gadis ini dapat merasakan penyesalan dari pancaran mata si pria. Pandangan mereka bertemu, dan si pemuda berambut cokelat dengan iris mata sama bungkamnya dengan kedua belah bibirnya dapat menemukan kekecewaan yang sangat dalam dari mata si gadis. Rasanya ia ingin memeluk gadisnya yang sudah lama tak ia pandang dalam hal sungguh nyata seperti ini, mungkin memang ia akan merengkuhnya jika saja seseorang di sampingnya tak menyikut pinggangnya dengan siku. Menyebabkan si pria kontan memutuskan pandangan dari gadisnya dan menatap ke arah gadis berambut merah gelap di sampingnya.

"Apa yang kau lihat hingga sangat terkejut seperti ini? Ayo pergi, kita sudah terlambat. Aku tak ingin Rachel marah karena kita datang terlambat mengunjunginya." si pria sepertinya kurang setuju, tapi ketika ia melirik arjolinya semuanya memang harus pergi. Ia tak mungkin meninggalkan gadis ini sendirian di bawah hujan, ia tahu tubuh gadis ini tak terlalu kuat untuk hal-hal berbau dingin seperti sekarang.

"Baiklah, Eve. Lagipula kupikir kau sudah kedinginan. Bawa kemari tanganmu, aku tak ingin dimarahi oleh orangtuamu karena membuat penyakit anaknya kumat." jelas si pria tersenyum. Ia menarik tangan si gadis dan memasukkannya kedalam saku jaket bersama tangannya.

Betapa hati gadis ini sangat hancur. Seperti kue pernikahan yang terjatuh dan hancur saat kedua mempelai akan menukar cincin, atau malah seperti gelas berisi wine putih yang dijatuhkan hingga pecah tak berbentuk dan cairannya terciprat kemana-mana. Ia ingin menjerit dan menumpahkan cokelat panas ini pada kepala si pria yang kini menatapnya sekilas. Ingat! Hanya sekilas, dan kemudian ia melenggang pergi tanpa mengatakan apapun pada gadis ini.

Ia pikir ia akan kuat seperti genggamannya yang erat pada minuman yang bahkan sudah tak seberapa panasnya dibandingkan amarah yang tengah dirasakan olehnya. Namun ternyata salah, nyatanya ia merasa tubuhnya tiba-tiba melemah, pandangannya buram dan perlahan menggelap. Tangan dan kedua kakinya sangat lemas hingga membuat tubuhnya meleleh seperti es, badannya tampak memiring dan...

‘Kyuhyun Oppa..’

Brukk!

=FIN=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar