Author: Barokah Sholawati
Genre: Hurt, Romance Etc.
Rate: PG - 15 / Straight
Cast: Find by your self
---oOo---
Seluruh kota London sudah terang walaupun sang benderang terhalang embun
hitam yang mulai menumpahkan cairannya. Gadis ini termenung menatap
melalui jendela apartementnya, kemudian mendesah untuk yang kesekian
kalinya. Hari ini ia berharap dapat melangkahkan kaki untuk merilekskan
lututnya yang sejak kemarin terasa nyeri akibat perjalanan panjangnya
dari Seoul, Korea hingga menginjak tempat ini, sembari melihat kota
London yang baru kali ini ia lihat dengan sebenar-benarnya. Namun cuaca
tampaknya belum -atau tidak- mengijinkan keinginan gadis ini. Hujan
seolah menertawakanya yang hanya dapat berdiri dan memandang bumi bagian
barat ini dengan mata memantulkan embun yang dijadikan objek olehnya.
Namun, setelah menimbang-nimbang, sepertinya sayang jika hanya berdiam
diri walaupun cuaca sedang tidak terlalu bagus seperti ini, pikirnya.
Gadis ini berbalik, menatap beberapa tas besar serta koper berwarna
cokelat tua yang menjadi lemari serbaguna selama perjalanannya. Sebelum
akhirnya ia melangkah dan dengan cepat menemukan benda yang barusaja
terpikir olehnya sebagai penyelamat dikala hujan.
Payung sudah
berada di genggamannya. Payung putih dengan corak bunga lily ini
mengingatkannya pada musim hujan tahun lalu. Saat ia dan kekasihnya
berjalan-jalan untuk perpisahan dikarenakan si pria yang dicintainya
akan pergi menuntut pendidikkan di Negeri seberang. Benar, disinilah ia,
sang kekasih yang hampir setahun sudah tak pernah ia pandang terkecuali
di balik sebuah foto.
Gadis ini menghampiri koper, membuka
resleting tas beroda ini dengan cekatan. Ia tatap sejenak tumpukan
pakaian beraneka warna, hingga pilihannya jatuh pada coat cokelat
sepanjang hingga lutut. Dikenakan olehnya dan terlihatlah gadis asia
berparas cantik dengan stylenya terpampang mahal di cermin.
Senyum sudah menghiasi wajahnya ketika ia merampas kembali payung yang
sebelumnya ia letakkan di atas ranjang. Kemudian ia meraih knop pintu
dan mengunci ruangannya sebelum akhirnya ia berjalan melewati lorong
apartemen dan masuk ke sebuah lift yang ternyata masih kosong. Ia
memencet tombol 1. Tak berapa lama pintu lift terbuka, dengan santai ia
melenggang keluar hingga berada di teras. Kedua tangannya bergerak untuk
membuka payung.
Zeg
Gulungan payung ini menghasilkan
suara ketika si gadis menekan kuncinya. Cembung sudah si payung di atas
kepalanya. Ia menggenggam erat batang payung dan kakinya yang berbalut
boot cokelat menginjak halaman yang sudah dialiri oleh hujan.
Pemandangan ketika ia berada di pinggir kota ternyata tak jauh berbeda
dengan di Seoul, beberapa orang yang juga memegang payung di tangan
berlalu-lalang bersamanya. Ia mengulas senyum, rasanya benar-benar
bahagia dapat menginjakkan kaki di Negeri ini. Ternyata masa kecilnya
hingga sekarang yang hanya dilewati dengan belajar membuat peruntungan
sendiri baginya. Siapa sangka ia dapat lulus beasiswa dan menjadi salah
satu dari ke-lima teman di Universitasnya yang juga mendapatkan
kemenangan yang sama. Ia pun baru menyadari bahwa ternyata dirinya tak
sebodoh yang dipikirkan.
Gadis ini memutar kepalanya ketika
mencium aroma cappucino dari sisi kiri. Ia bersyukur ketika menyadari
ternyata indra penciumannya masih berfungsi dengan baik, ditatap olehnya
sebuah coffee shop bertuliskan Mouse and Rabbit. Matanya membulat,
beberapa tanda tanya seolah muncul di atas kepalanya. Ia memiringkan
wajah, menyipitkan mata, dan mulai berpikir secara logika.
"Yesung Oppa sudah membuka Coffe shop hingga ke tempat ini?" tanyanya
dengan wajah bodoh. Kemudian kepalanya kembali menegak setelah tak
menemukan jawaban dari siapapun. Baiklah, yang benar saja!
"Sepertinya bukan hal buruk jika aku mengecilkan suara badai dari
perutku dengan sebuah cup cokelat panas," ia terkikik sebelum akhirnya
melangkahkan kaki memasuki cafe yang ia curigai adalah milik kakak
sepupunya yang tampan sekaligus aneh, Kim Yesung.
Ia
mengedarkan pandangan. Walaupun masih pagi ternyata tempat ini sudah
ramai, decaknya kagum. Lalu ia menuju ke tempat pemesanan hidangan. Ia
mengambil menu burger dan cokelat panas. Ia tersenyum kikuk. Ternyata
disini ada burger, ia mengatakan dirinya begitu tolol di dalam hati. Tak
hanya itu saja, ketika memandang nampan berisikan makanan yang barusaja
sampai di tangannya, rasanya ia jadi ingin tertawa. Menu yang aneh,
baiklah, anggap saja aku benar-benar tidak tahu dengan hal ini dan
ketahuilah, aku tak pernah menginjak Negara ini sebelumnya. Rasanya ia
ingin mengucapkan kalimat itu pada sang waiters yang sudah lebih dahulu
tersenyum aneh padanya, mungkin memang benar. Makanan dan minuman yang
ia pesan tak cukup bagus untuk dipasangkan.
Hanya satu tempat
kosong yang tersisa, dan itu adalah seperangkat meja dengan dua kursi
saling berhadapan di sisinya yang terletak di dekat kaca transparan
besar yang memampangkan lalu-lalang kendaraan serta pejalan kaki. Maka
gadis ini membawa jasadnya ke sana. Ia mendudukkan diri di salah satu
kursi dan meletakkan nampan berisikan menu aneh yang hanya akan terjadi
cukup sekali ini sepanjang hidupnya. Ia meraih makanan yang dibungkus
dengan tisu itu dan membungkam mulutnya dengan cukup kesulitan. Ia tak
tahu apakah burger ini yang berukuran terlalu besar, atau malah mulutnya
yang terlalu kecil. Baiklah, lupakan saja pemikiran bodoh ini.
Walaupun diakui sangat tak sepadan, namun gadis ini menikmati sarapan
paginya di kota London. Terlebih pemandangan romantis yang sudah ia
lihat pagi ini membuat semangatnya untuk bertemu dengan kekasihnya pun
menjadi harapan yang besar. Walaupun sudah memasuki dua bulan sejak si
kekasih putus komunikasi dengannya, namun ia yakin dapat menemukan pria
itu. Tentu saja, ia dapat mencarinya ke Universitas tempat kekasihnya
belajar, atau berkunjung ke alamat tempat tinggalnya, gadis ini bahkan
sudah menghapal alamat itu karena selalu membacanya setiap hari.
Ia mengulas senyum dengan mata membulat senang ketika lagi-lagi dirinya
melihat sepasang gadis dan pemuda berada di bawah satu payung. Salah
satu tangan si pria memegang gagang payung, sementara satunya yang lain
terlihat menggenggam erat tangan si gadis yang berada di sampingnya.
Gadis ini mengaku sangat menyenangi hal yang romantis seperti yang
dilihatnya sekarang. Namun tiba-tiba pandangannya membulat. Bukan, bukan
karena senang, tapi ia terkejut. Bibirnya perlahan merunduk ke bawah,
kedua matanya pun berangsur-angsur menyendu. Tangannya terasa diselimuti
kabut walaupun nyatanya kini jemarinya melingkari cup cokelat panas.
"Oppa.." suaranya gemetar dan pelan seolah tengah berbisik. Namun siapa
sangka yang kini ia maksud malah berhenti pula, dan itu tepat di
hadapan kaca yang membatasi dirinya dengan si pria. Kau tahu siapa yang
kumaksud? Benar, sepasang kekasih ini ternyata salah satu darinya sangat
dikenal oleh gadis bermata cokelat ini.
"Gaein.."
Gadis ini dapat dengan jelas melihat kedua daun bibir sang pria menyebut
namanya. Berarti ia tak salah mengenali, ia yakin hanya kekasihnya lah
yang mengenal siapa dirinya di kota ini, tidak terkecuali.
Gadis ini cukup lama merasakan buram pada pandangannya. Genangan air
mata melukiskan betapa lemahnya ia sekarang, mau tak mau ia relakan si
bening pembukti kesedihan meluncur di wajahnya yang sudah merona karena
amarah. Dan benar saja, si pria terlihat tergelak, gadis ini dapat
merasakan penyesalan dari pancaran mata si pria. Pandangan mereka
bertemu, dan si pemuda berambut cokelat dengan iris mata sama bungkamnya
dengan kedua belah bibirnya dapat menemukan kekecewaan yang sangat
dalam dari mata si gadis. Rasanya ia ingin memeluk gadisnya yang sudah
lama tak ia pandang dalam hal sungguh nyata seperti ini, mungkin memang
ia akan merengkuhnya jika saja seseorang di sampingnya tak menyikut
pinggangnya dengan siku. Menyebabkan si pria kontan memutuskan pandangan
dari gadisnya dan menatap ke arah gadis berambut merah gelap di
sampingnya.
"Apa yang kau lihat hingga sangat terkejut seperti
ini? Ayo pergi, kita sudah terlambat. Aku tak ingin Rachel marah karena
kita datang terlambat mengunjunginya." si pria sepertinya kurang setuju,
tapi ketika ia melirik arjolinya semuanya memang harus pergi. Ia tak
mungkin meninggalkan gadis ini sendirian di bawah hujan, ia tahu tubuh
gadis ini tak terlalu kuat untuk hal-hal berbau dingin seperti sekarang.
"Baiklah, Eve. Lagipula kupikir kau sudah kedinginan. Bawa kemari
tanganmu, aku tak ingin dimarahi oleh orangtuamu karena membuat penyakit
anaknya kumat." jelas si pria tersenyum. Ia menarik tangan si gadis dan
memasukkannya kedalam saku jaket bersama tangannya.
Betapa
hati gadis ini sangat hancur. Seperti kue pernikahan yang terjatuh dan
hancur saat kedua mempelai akan menukar cincin, atau malah seperti gelas
berisi wine putih yang dijatuhkan hingga pecah tak berbentuk dan
cairannya terciprat kemana-mana. Ia ingin menjerit dan menumpahkan
cokelat panas ini pada kepala si pria yang kini menatapnya sekilas.
Ingat! Hanya sekilas, dan kemudian ia melenggang pergi tanpa mengatakan
apapun pada gadis ini.
Ia pikir ia akan kuat seperti
genggamannya yang erat pada minuman yang bahkan sudah tak seberapa
panasnya dibandingkan amarah yang tengah dirasakan olehnya. Namun
ternyata salah, nyatanya ia merasa tubuhnya tiba-tiba melemah,
pandangannya buram dan perlahan menggelap. Tangan dan kedua kakinya
sangat lemas hingga membuat tubuhnya meleleh seperti es, badannya tampak
memiring dan...
‘Kyuhyun Oppa..’
Brukk!
=FIN=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar