Sabtu, 08 Februari 2014

[Freelance] Blooding In The Winter Snow

Author: Dwi Haerati
Genre : Family, Friend, and Love
Cast ff: Justin Bieber, Jovega Bieber, Pattie Mallette, and Selena Gomez
Leght FF:  oneshoot
Other Cast ff: -
Rating ff: t+

~Happy Reading~



Makin sedikit kau kuberi makan, makin besar ia tumbuh.
Orang miskin punya banyak, tapi orang kaya punya sedikit.
Kalau sudah tumbuh sangat besar, ia akan menghilang.
Yah, setiap orang pernah memilikinya.~


Lapar, rasa itu memang tak bisa kupungkiri lagi keberadaannya didalam perut kecil ini. Aku hanya bisa meratapi kue-kue enak di balik etalase toko yang sudah berembun akibat nafasku yang menderu. Sepeser uang pun tak menjejali kantong mantel tipis tua compang-camping yang tak lain adalah satu-satunya barang berharga yang aku miliki sekarang.

Orang-orang yang berlalu-lalang terlihat bahagia sekali. Tubuh mereka hangat terbalut mantel musim dingin yang tebal. Beberapa diantaranya berjalan bergandengan dengan pasangan mereka. Ramai. Natal memang masih seminggu lagi. Tetapi banyak orang yang sudah mulai mempersiapkan segalanya dari sekarang. Mulai dari pemesanan order pohon natal, pernak-perniknya, dekorasi ruangan, sampai makanan-makanan natal. Oh ya ampun, perut ini, rasanya tak sanggup menompang keluhan lagi.

Langkahku mulai berjalan menuju pintu masuk toko kue itu. Mengendap-ngendap dan perlahan menjulurkan tangan mencoba untuk mengambil satu diantara desakan pembeli yang lain. Mataku menyipit tajam, aku tak pernah melakukannya. Aku, aku terpaksa.

“Kena kau gadis pencuri!” Aku terkejut sekali ketika si pemilik toko mengamit tanganku. Sontak semua mata memandangku jijik dan tak percaya. Mundur menjauhiku. Oh tuhan, maafkan aku. Aku meronta kuat ditangannya. Berusaha melepaskan diri dari cengkraman itu.

“Mau kemana lagi kau sekarang?!” sambaran itu kembali terdengar.

“Oh sir, lepaskan aku. Aku tak punya uang untuk membeli rotimu. Aku tak punya apa-apa. Aku lapar.” Aku memandang roti yang jatuh dilantai, aku malu. Mata ini mulai memanas. Dan akhirnya, buliran air mata jatuh perlahan dan iramanya serempak dengan hujan salju diluar sana.

“Kau kira ini semua gratis?! Enak saja kalau kau mengira begitu. Aku akan mengadukanmu ke petugas gelandangan. Hahahaha, kau akan dapat makanan di sana!” sindir si pemilik toko.

Ia perlahan memaksaku untuk keluar dari toko dan yah, akan membawaku ke Pos Petugas Gelandangan (Read : PPG) yang ada disudut jalan. Aku meronta kuat. Sengaja kuberatkan bebanku ke lantai. Orang-orang kian menatapku benci. Air mata kini mengalir deras-sederas-derasnya.


Tapi aku sudah lelah, lelah meronta dan juga menangis. Juga karena lapar. Tak tahan lagi, akupun terkulai lemas dan pasrah. Tubuhku terseret dan tersaruk-saruk dilantai. Pintu toko kue itu juga sudah dekat didepanku. Kini mataku hanya bisa memandang nanar ke semua objek yang kulalui.

“Tunggu!” seorang wanita berteriak keras, menghentikan langkah penyeretanku.

“Ada apa nyonya? Kalau anda mau membeli kue, mintalah pada karyawanku saja. Aku sedang sibuk.” Sahut si pemilik toko itu. Ia terlihat kesal.

“Tidak, kuemu sudah kubeli tadi. Lepaskan gadis itu dan aku akan menanggung kesalahan yang ia perbuat.” Wanita itu berusaha membebaskanku. Aku merasa lega sekali.

“Dia harus menanggung kesalahannya sendiri.” Si pemilik toko tampak ragu mengatakannya.

“Berapapun yang kau mau, akan kuberi.”

Sontak si pemilik toko itu melepaskan tangan kurusku dan berjalan manis ke arah wanita yang kelihatan paruh baya itu. Langkahnya benar-benar terkesan buru-buru dan congkak. Menggeser para pembeli sedikit ke samping agar bisa memberikan jalan untuknya.

Kemudian terjadilah sederet percakapan yang sama sekali tak kudengar. Hanya mulut yang mengatup-ngatup terlihat dari tempatku terduduk. Lalu si wanita memberikan beberapa lembar uang yang kelihatannya banyak jumlahnya dan menyudahi percakapan itu. Berjalan ke arahku dan tersenyum.

“Ayo gadis manis, berdirilah dan ikut aku.” Katanya sambil membantuku berdiri.

Kami pun keluar dari toko kue itu dan mulai berjalan diiringi hujan salju yang dingin. Ia memberiku beberapa potong roti dan akupun menyantapnya dengan lahap sambil sesekali mengobrol dan mengikuti kemana ia pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya, malaikat natalkah yang baru saja menolongku ini? Ia baik sekali. Aku terus menatap wajahnya yang sendu itu.

“Hmm, ayo kita kesana!” seru wanita paruh baya itu.

Ia menarikku masuk kesebuah toko pakaian. Entah apa yang akan dilakukannya, tapi aku merasa senang saja. Rasa lapar itu sudah hilang sejak tadi. Aku semakin bersemangat mengikuti langkahnya.KRING! Lonceng toko berbunyi saat pintunya kami buka. Dan wanita itu melepaskan tanganku kemudian beralih untuk melihat dan mengobrak-abrik pakaian yang ada disana.

“Nah, ini cocok untukmu gadis manis.” Katanya sambil mengangkat pakaian yang bagus sekali dan mencoba mencocokannya ke tubuhku. Sontak aku terkaget-kaget. Pakaian itu memang bagus sekali, dan pasti harganya juga sangat mahal. Apalagi toko ini adalah toko pakaian terkenal dikota ini. Aku tak punya uang untuk membelinya. Segera aku menampis pakaian itu.

“Tidak nyonya, aku tak punya uang untuk membelinya.” Aku menunduk malu. “Kau kan tau sendiri, untuk membeli roti saja aku tak sanggup, apalagi baju bagus ini.” Aku membalikkan badan dan bersiap meninggalkan toko mewah itu segera.

Wanita itu menahanku. Ia menatapku dengan tatapan heran dan tak mengerti. Aku sendiri bingung untuk mengartikannya. “Kenapa? Kau masih tak percaya padaku? Aku membelikan ini karena sebentar lagi akan natal. Apa aku tak boleh melakukan sebuah kebajikan? Please, terimalah.” Ia memohon.

Entah siapa yang merasa iba, tapi aku tak tega melihat wajahnya memohon seperti itu. Aku mencoba tegar. Aku tak memikirkan hal buruk yang ada dibalik ini semua. Tak mungkin seorang wanita berhati suci seperti ini mencoba menjebakku. Aku percaya padanya.

“Baiklah ma’am.” Aku tersenyum dan mengangguk.

***


It’s the most beautiful time of year,
Lights fill the streets spreading so much cheer,
I should be playing in the winter snow,
But I’mma be under the mistletoe ...

“Jadi, kau maukan bersedia menjadi anak angkatku?” Wanita itu bertanya serius pada gadis di sampingnya. Sedangkan gadis itu sendiri bimbang, tak tau harus menjawab apa. Di satu sisi, ia ingin sekali memiliki rumah dan keluarga seperti dulu. Tapi disisi lain, ia sama sekali tak ingin merepotkan wanita itu.

“Oh ayolah, aku punya seorang anak laki-laki yang kelihatannya beberapa tahun lebih tua darimu. Dari kecil, ia selalu terlihat sedih dan murung setiap harinya. Aku tak tega melihat anak semata wayangku begitu larut dalam kesedihan. Kuyakin, kau bisa sedikit mewarnai hari-harinya dengan menganggapmu sebagai adik kandungnya sendiri.” Bujuk si wanita.

“Tapi, bagaimana kau bisa tau bahwa aku orang yang tepat untuk itu?” gadis itu mendesah frustasi.

“Aku tau.” Wanita itu menjawab pasti.

“Dari mata dan hatimu.”

GLEK! Gadis itu menelan ludah. Ia memang ingin sekali merayakan natal tahun ini dengan sebuah keluarga dirumah yang hangat akan kebahagiaan. Tapi ia masih berpikir ‘Apa ia benar-benar malaikat natal?’ Pikiran terkonyol yang satu-satunya melintas di otaknya. Mata wanita itu seperti bisa menerawang sesuatu yang berbeda. Ia seperti punya pandangan lain tentang gadis itu.

Bak di bawah pengaruh jin Aladdin, gadis itu perlahan mengangguk. Pelan, tapi pasti. Sontak si wanita tersenyum lega dan bahagia. Ia memeluk gadis itu dengan erat. Dalam dekapannya, ia menangis. Menangis haru dan bisikan ‘Terima kasih’ terdengar sayup-sayup.

“Siapa namamu, sweetheart?” ia bertanya kemudian.

“Jovega, kau bisa memanggilku Vega.” Jawab gadis itu dengan senang.

“Vega, yah Vega. Mulai sekarang, namamu menjadi JOVEGA BIEBER, nak!” seru si wanita. “Panggil aku‘mommy’ dan jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya. Ayo kita pulang, kau juga harus mencoba baju-baju tadi.” Wanita itu –ibunya yang baru, mengajak gadis itu untuk kembali berjalan. Kali ini, jalan pulang yang mereka ambil. Pulang kerumah baru gadis itu.

***


“Nah, kau sudah tau kan dimana kamarmu? Dan baju-baju tadi? Apa kau suka? Kalau kau memerlukan sesuatu, katakan saja padaku.” Mom menyodorkanku semangkuk sereal panas. Dapur rumah ini saja sudah besar sekali, bagaimana ruang-ruang lainnya?

“Hmm, aku suka sekali baju-baju tadi. Dan sereal ini? enak sekali, mom!” jawabku ceria.

...........................................................................................................................................

“Mom?! Memangnya kau siapa? Berani-beraninya memanggil ibuku dengan sebutan ‘mom’ huh!” tiba-tiba saja seorang pria muda muncul dari balik pintu masuk dapur. Ia berdiri menyender ke dinding. Tatapannya seperti marah padaku. Dan kelihatannya ia tak jauh lebih tua dariku. Ia pasti anak kandung mommy. Apa ia tak menerima kehadiranku? Aku dan mommy terdiam untuk beberapa saat.

“Kenapa diam?! Jawab aku!” masih tak ada respon. Mom sepertinya terlihat begitu tegang.

“Just, Justin, dia ini ..............................”

“Anak gelap mom?! Oh, jadi selama ini mom tak begitu memperdulikanku karena dia? Mom membagi kasih sayang mommy padanya? Mom, kau jahat!” ia memotong ucapan mom dan pergi meninggalkan kami berdua di dapur. Mom terlihat frustasi. Sedangkan aku tak selera lagi untuk menghabiskan sereal ini.

Apa jangan-jangan, kakak baruku ini tak tau kalau mommy mengangkatku sebagai anak angkatnya? Ia salah sangka jika berpikiran bahwa aku anak gelapnya mommy. Aku kan baru di angkat sebagai anak tadi. Hmm, aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Justin. Aku pun beranjak untuk berdiri.

“Tidak tidak, kau tak perlu repot memikirkan hal ini. Biar aku saja yang mengatakannya pada Justin. Maaf untuk hari pertamamu. Sebaiknya kau tidur, sweetheart.” Mommy mengecup keningku dan pergi.

Dentuman hujan salju terus saja mengetuk-ngetuk jendela dapur. Dan suhu semakin malam semakin dingin. Jadi aku beranjak dari sana dan pergi ke kamar baruku. Aku mengutak-ngatik barang-barang dikamarku, dan juga kamar mandinya. Apa seperti ini rasanya menjadi orang kaya? Enak sekali ya. Aku melompat-lompat diatas kasur empuk itu sampai lelah dan akhirnya terlelap dengan sendirinya.

***


TOK ... TOK ... TOK
Suara ketukan pintu mendentum keras dan kencang dipintu luar kamarku. Matahari kini sudah menyingsing tinggi menggantung dilangit. Sinarnya meraungi kamarku yang jendelanya besar sekali.TOK ... TOK ... TOK !!!
Bunyi itu terdengar kembali. Kali ini lebih kencang dan lebih keras. Siapa sih pagi-pagi begini sudah bikin keributan? Ergh, aku melangkah gontai untuk membuka pintu itu.

CEKLEK.
Betapa terkejutnya aku begitu tau orang yang mengetuk pintu itu adalah kakakku sendiri, –Justin. “Pemalas! Kenapa kau baru bangun jam segini?! Apa kau tak tau malu hah? Mom menyuruhmu untuk cepat mandi dan ganti bajumu. Dengan terpaksa aku harus mengantarmu kuliah bersamaku!” ketusnya.

“Ku, Kuliah?” aku bertanya heran, tergagap.

“Ya, kuliah. Dan sialnya, mom mengambil jam kelas untukmu yang sama denganku. Argh! Sudah cepat! Aku menunggumu di mobil.” Justin berlalu pergi sambil mengacak rambutnya, frustasi.

Aku masih terdiam di tempatku berdiri. Kuliah? Maksudku, aku tau kuliah itu seperti sekolah. Tapi kata orang-orang, kuliah itu berbeda dari sekolah. Bagaimana ya keadaan disana? Apa semengasyikkan di TK? Bermain-main dengan permainan? Apa iya? Aku terus berpikir di ambang pintu itu. “CEPAT, BODOH!” Justin meneriakiku diujung lorong, seketika aku langsung masuk kekamarku dan mempersiapkan semuanya.

***


Pria muda itu sudah bertengger dimobil mewahnya sedari tadi. Gerutuan tak jelas berkali-kali terdengar darinya. Kelihatannya ia benar-benar kesal sekali. Sampai akhirnya seorang wanita paruh baya dan seorang gadis muda muncul dari pintu rumah. Ya, itu mom Pattie dan Vega. Mom Pattie mencium kening gadis itu sebelum akhirnya ia diantar masuk menaiki mobil Justin.

“Bye, hati-hati dijalan.” Wanita paruh baya itu melambaikan tangannya.

“Mom tak mencium keningku juga?” Justin bertanya tak mengerti.

“Ah, kau kan laki-laki dan juga sudah besar. Jadi sudahan saja acara cium keningnya. Cepatlah, kalian bisa telat, sayang.” Mom Pattie mengabaikan Justin yang terbengong-bengong. Tak biasanya ia tidak mendapat ciuman dikening sebelum ia berangkat kuliah. Perlahan, mobil pun mulai menderu.

***


“Aku tau, ini semua pasti karena kau! Kau mengambil alih kasih sayang mom padaku! Kau yang membuat mommy tak sayang lagi padaku, dasar gadis tak tau diri!” Justin membentak adiknya sendiri –Vega, gadis itu terdiam dan menunduk malu. Ia tak tau kalau jadinya akan seperti ini.

“Mom menyuruhku untuk memberikan ponsel ini padamu. Kalau ada sesuatu, kau bisa menelponku.” Justin mencampak ponsel itu ke pangkuan Vega dengan kasar.

“Oh ya, siapa namamu? Aku bahkan tak tau harus memanggilmu apa, ironis bukan?” ucapnya sinis.

“Jo Jovega, Vega.” Jawabnya gugup.

“Kau ini gagap ya?! Jangan bikin malu aku nanti, Jo! Aku tak mau malu karena punya adik sepertimu. Dan satu lagi, aku tak benar-benar menganggapmu adikku. Ingat itu!” Justin menggertak keras. Air mata hampir saja menyeruak memaksa keluar dari manik mata biru cerah milik Vega.

Apa Justin benar-benar benci padanya? Apa ia sanggup untuk hidup dengan orang yang membencinya? Bahkan Justin memanggilnya dengan sebutan ‘Jo’ yang lebih terdengar seperti nama anak laki-laki. Ia seharusnya memanggilnya dengan nama ‘Vega’ karena itu lebih cocok untuk seorang perempuan. Dan apa harapannya akan sirna? Menghabiskan waktu natal tahun ini bersama orang-orang yang menyayanginya? Apa iya?

~~~


Mobil berdecit pelan saat Justin memarkirkannya di area parkir universitas itu. Ia turun dari mobil dan di ikuti oleh Vega yang berada dibelakangnya. “Hanya hari ini! Besok, kau harus menjauhiku dan anggap saja aku tidak ada.” Justin memberikan isyarat khusus padanya.

Vega mengangguk cepat. Ia takut kalau kakaknya akan mengatakan hal yang tidak-tidak lagi akan dirinya. Mereka mulai menaiki tangga menuju pintu masuk universitas mewah ini. Saat pintu itu terbuka dengan otomatisnya, udara penghangat ruangan menyeruak menerpa kulit mereka. Tatapan mata semua orang kini menatap mereka dan teriakan histeris mulai mengguncang gedung itu.


Hey, itu Justin! Aaaaaa!!!
Justin, akhirnya kau datang juga!
Siapa gadis bersamamu itu, Justin?
Siapa dia?! Apa dia pacarmu yang baru?!

Teriakan-teriakan gila begitu memekakkan telinga yang kebanyakan berasal dari kaum hawa. Mereka mengerubungi Justin dan Vega yang dikira berpacaran. Justin menggeleng cepat. “Tidak, dia bukan pacarku! Dia hanya adikku. Permisi, kami mau lewat.” Justin menarik tangan Vega dan beranjak dari kerubungan kaum hawa itu. Mereka mencari tempat persembunyian sementara.

“Dengar, kau jangan coba-coba untuk cari masalah dengan fansku. Dan jangan pernah mendekatiku layaknya kau adalah adikku. Aku tak mau mengecewakan fans dan juga pacarku, Selena. Mereka bisa saja mangancammu atau bahkan membunuhmu. Ingat itu!” Justin memperingati Vega setelah mereka sampai ke balik dinding di ujung lorong universitas.

Kebetulan dinding itu rapat dan sempit. Jadi nafas mereka yang memburu bersatu dan tiba-tiba saja mata mereka bertemu disatu titik. Manik mata hazel indah dan biru cerah itu bertatapan untuk beberapa saat. Dalam jangkauan jarak yang sangat dekat, mereka seperti layaknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Seketika, Justin memalingkan wajahnya dan beranjak pergi dari sana.

“Ayo ikut aku.” Ucapnya dingin. Terlihat rona wajah keduanya bersemu merah.

***


“Hey baby, how are you?” Aku merangkul pinggang Selena dikantin fakultasku. Yah, ini memang sudah jam istirahat. Aku menyempil duduk diantara teman-teman Selena di meja itu.

“Urgh, kau mengganggu saja. Pergi sana!” Ketusnya dan mengalihkan pandangannya dariku. Ia menompang wajahnya dengan tangannya diatas meja. Sepertinya sedang menikmati pemandangan lain. Ia mengendip-ngendipkan matanya genit pada laki-laki di ujung sana. Dia kenapa sih? –pikirku.

“Kau kenapa, baby?” aku mendesaknya dengan sedikit memaksa.

“Justin, Justin, Justin. Sepertinya kalian impas sekali. Kau selingkuh darinya, dan ia selingkuh darimu. Selena sudah lama bermain dibelakangmu, dan baru-baru ini, kau juga bermain dibelakangnya. Ini perselingkuhan yang sempurna. Benarkan, Sele?” salah satu teman Selena menjawabku panjang-lebar.

“Maksudmu? Lancang sekali kau! Selena tak mungkin melakukan hal itu padaku. Kau tega ya, yang jelas-jelas temannya sendiri malah memfitnahnya dan ..” Justin mulai naik pitam dibuatnya. Tapi omongannya sempat terputus dengan perkataan gadisnya, Selena.

“Ya, kita impas. Dan sekarang sebaiknya kau jalani saja hidup barumu dengan gadis itu. Toh, aku juga punya pria lain kok. Jadi intinya, kita putus!” Selena melempar selembar foto ke atas meja. Kemudian ia dan teman-temannya beranjak dari meja itu dengan tawa cekikikan kencang.

Aku tak mengerti. Ia memutuskanku begitu saja dengan alasan perselingkuhan? Yang benar saja? Kapan aku melakukannya dengan gadis lain? Taganku terjulur panjang untuk meraih selembar foto diatas meja. Aku terkejut. Mataku membulat besar, “AH! SI GADIS TAK TAU MALU!!!” teriakku dengan kencang. Aku keluar dari kantin dengan beribu tatapan heran mengejutkan mengikuti bayanganku.

***


Suara dentingan sendok dan garpu menghiasi meja makan ini. Tak ada satu intro pun suara yang keluar dari mulut ketiga orang yang sedang melahap makan malamnya itu. Begitu sunyi dan sepi. Dingin seperti salju diluar sana. “Kalian bertengkar?” Mom Pattie mencoba mencairkan suasana.

“Ah, tidak.” Jawab gadis disamping mom Pattie dengan lugunya.

“Tidak?! Setelah apa yang kau lakukan padaku hari ini, kau masih berpikiran kata ‘TIDAK’ bisa menjelaskan pertanyaan mommy, huh?!” Justin membentak kasar didepan wajah Vega. Ia melengos pergi melewati pintu samping rumah. Jalannya terkesan terburu-buru dan kasar sekali.

“Sebaiknya aku menyusulnya.” Mom Pattie mulai beranjak.

“Ah, tak usah mom. Mungkin ini masalahku dengan kak Justin. Biar aku saja yang menyusulnya. Dah, aku sayang kau.” Vega mencium pipi mom Pattie kilat. Kemudian ia keluar rumah dengan pintu yang dilalui Justin tadi dan mulai mencarinya ke sudut-sudut halaman yang penuh salju tebal.

Sosok itu samar-samar terlihat dibawah temaram cahaya lampu. Sosok lelaki kekar tengah duduk disebuah bangku taman kecil. Vega menghampiri sosok itu dan duduk di sisi bangku lainnya.

“Mau apa kau?!” bentak Justin. Vega yang ada disampingnya pun terlonjak.

“Erm, maafkan aku. Maafkan jika aku membuat kesalahan padamu.” Suara gadis itu terdengar serak. Mungkin karena dinginnya suhu malam itu dan juga hamparan salju yang masih menyelimuti permukaan tanah dan membeku diatasnya.

“Kau jahat, Jo! Kau jahat pada kakakmu ini!” Justin membuang mukanya ke arah lain.

“Memangnya aku berbuat apa?” lugu, kembali menampakkan sosok polos gadis itu.

“Kau berbuat apa? Apa kau serius mengatakannya?! Apa kau benar-benar tak tau apa yang terjadi huh?!” Justin kini membalikkan badannya untuk menatap Vega dan mengguncang-guncang tubuh gadis itu dengan kencang. Vega merasakan suhu panas menjalari tubuhnya yang terguncang hebat. Ia yakin suhu panas itu terbentuk karena kemarahan Justin padanya.

“Aku, aku benar-benar tak tau.” Gadis itu mengaku sedih.

“Sungguh.” Sahutnya lagi.

Justin melemparkan selembar foto yang tadi siang didapatnya dari Selena. Foto itu sendiri menggambarkan kedekatan mereka saat bersembunyi dari incaran fans Justin disudut lorong universitas mereka. Mereka berdua tak sadar bahwa kala itu, ada seseorang yang mengambil gambar mereka dan menyerahkannya pada Selena dalam bentuk yang sudah jadi.

“Itu, kau penyebab Selena memutuskanku!” Justin berdiri kasar dari bangku taman yang mereka duduki dan beranjak pergi kembali. Kali ini sepertinya ia melangkahkan kakinya masuk menuju rumah. Sepatu supranya meninggalkan jejak putih disepanjang alur salju yang dilaluinya.

Sedangkan Vega terdiam tanpa kata dengan tetap diposisi duduknya sedari tadi. Gadis itu berusaha manahan gejolak sakit didadanya. Pencampuran suhu ekstrim antara dinginnya salju dan butiran hangat air matanya terlihat kompak. Terus membasahi pipi ranum gadis itu.

***


I don’t miss out on holiday,
But I can’t stop staring of your face,
I should be playing in the winter snow,
But I’mma be under the mistletoe ...

Yap, hari ini adalah hari ke-enamku tinggal bersama mom dan Justin di rumah mewah ini. Kakakku itu masih saja menyimpan dendamnya padaku. Setiap kali aku mencoba untuk berbicara padanya, jawabannya selalu singkat dan terkesan dingin. Apa ia benar-benar membenciku? Sebentar lagi malam natal, apa ia tak mau memaafkan kesalahanku itu dan aku tak benar-benar membuat suatu kebajikan tahun ini? Tuhan, tolong hapuskan dosa yang menodaiku. Aku ingin menjadi mahkluk suci di tahun depan. –Amin.


Mom Pattie P.O.V
Tuhan, sebentar lagi akan datang tahun barumu yang suci. Aku mohon, lapangkanlah hati Justin untuk menerima adik barunya. Aku tau ia hanya anak angkatku. Selain untuk membahagiakan keseharian Justin, aku mengangkat Vega menjadi anakku untuk memenuhi tingkat kebajikanku padamu. Aku merasa iba melihatnya harus mencuri demi sepotong roti. Aku mohon, kabulkan doaku.

Satukanlah mereka ...


Justin P.O.V
DEGH! Aku yang baru saja melewati kamar Jo dan mendengar semua isi doanya pada tuhan dan ditambah dengan doa mom malam itu. Apa aku benar-benar jahat pada Jo? Apa aku mengecewakan mommy yang sudah merawatku dari kecil sampai sekarang tanpa diiringi kasih sayang dad? Apa aku layak untuk melakukannya? Ya tuhan, apa yang aku lakukan selama ini? Aku mengecewakan orang orang yang mengasihiku.

Aku bersandar ke daun pintu kamarku. Tubuhku melemah dan jatuh merosot ke lantai yang dingin. Aku merasa aku telah melakukan kesalahan. Sebentar lagi memang malam natal. Tapi, apakah masih bisa aku memperbaiki semuanya? Hubunganku dengan adikku dan meminta maaf pada mereka?

“Maafkan aku.” Lirihku pelan.

***


Ting nong, teng ting ting ...
Lonceng natal berbunyi indah dimana-mana. Di setiap sudut dan pelosok sekalipun. Semua orang kelihatan merayakan malam natal ini dengan begitu meriah. Kota-kota besar seperti Atlanta, tempat Vega tinggal kelihatan begitu sesak dan ramai. Santa Claus bohongan juga berdiri di jalan-jalan sambil membunyikan lonceng mereka. Lampu warna-warni semakin menghiasi malam puncaknya.

“Mom, Jo, kalian jalan-jalan saja sebentar. Biar aku yang menyiapkan meja makan.” Justin mendorong tubuh mom dan adiknya mengarah keluar pintu rumah.

“Justin, kenapa kau ini?” mom bertanya heran.

“Biar aku saja yang menyiapkannya, benar kan Jo?” Justin memancing Vega untuk menjawab pertanyaannya. Gadis itu hanya bisa pasrah dan mengangguk tak lebih heran daripada mom. Kenapa Justin bisa tiba-tiba baik seperti ini? Apa ini sebuah lelucon yang di rencanakannya?

“Aha, kalian sudah berbaikan. Iya kan? Tuhan memberkati keluarga kita. Baiklah, mom akan menuruti kemauanmu, Justin. Ayo kita jalan-jalan sebentar, Ve!” Mom Pattie merasa lega begitu tau kalau Justin sudah merubah sikap dinginnya pada Vega.

Gadis itu mendongak kebelakang untuk melihat ekspresi kakaknya. Dan saat manik mata biru cerahnya menatap sepasang bola mata hazel indah itu, hawa panas kembali menyelimutinya. Justin tersenyum hangat. Ia jadi tau bahwa yang membuat badannya terasa panas kala itu adalah dengan menatap kedua bola mata indah milik kakaknya. Tak mau berlama-lama, Vega pun mengalihkan pandangannya segera.

“Hahaha! Pipimu memerah, adik kecil.” Justin terkikik dibelakangnya.

“Shut up!” pipi Vega kini benar-benar bersemu merah muda akibat Justin. Mom Pattie juga ikut tertawa dibuatnya. Mereka tertawa-tawa sebelum akhirnya mom dan Vega meninggalkan Justin sendirian dirumah. Dengan suhu dingin yang menusuk sampai ke tulang.

***


With youuu, shawty with you,
With youuu, under the it again,
With youuu, shawty with you,
With youuu, under the mistletoe ...

Aku terus saja bergumam, bernyanyi, dan bersiul. Jam sudah menunjukkan pukul 9pm. Sepertinya, mom dan Jo masih menikmati suasana natal diperkotaan. Meja makan kini benar-benar penuh dengan makanan-makanan special buatan mom. Hanya saja, aku yang menatanya. HEHEHEHEHE

Aku benar-benar menyesal sudah mengecewakan mommy di natal-natal sebelumnya. Dalam ingatanku, setiap malam natal, aku hanya diam merayakannya bersama mom. Mungkin aku marah padanya karena mom&dad berpisah saat aku benar-benar masih bayi. Aku menyesal telah melakukannya. Dan sekarang, aku kembali mengecewakannya kembali dengan menolak hadiah indah dari mom.

Jo, yah adikku. Sejak dulu memang aku selalu merasa kesepian. Aku memang menyendiri dari kalangan teman-teman seusiaku. Sampai saat aku berani untuk menembak Selena sebagai kekasihku pun aku masih terbilang anak yang pendiam dan penyendiri. Tapi itu dulu, berkat Jo, aku tau siapa Selena sebenarnya. Walaupun aku sering bertengkar dengannya, tapi karena pertengkaran itulah yang menyebabkanku sedikit terbuka. Ia membuka jati diriku yang selama ini terpendam.

Sejak tadi, pekerjaanku memang sudah selesai. Mengelap dan menata meja makan, menghias pohon natal, membuat roti jahe, dan banyak lagi. Urgh, aku haus. Aku pun pergi untuk mengambil segelas air. Meneguknya dengan satu desahan nafas sekaligus sampai gelas itu kembali kosong. Saat aku ingin meletakkanya kembali ke atas meja, tiba-tiba saja ...

PRANG!

Gelas itu terjatuh dari tanganku. Pecah sempurna diatas lantai yang dingin. Seketika, bulu kudukku merinding. Seperti ada sesuatu yang baru saja ingin mengalihkan pikiranku. Ah, kurasa itu hanyalah sebuah ilusi. Jadi aku segera mengumpulkan puing-puing pecahan kaca itu dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian berjalan ke ruang TV dan menyalakannya.

Aku mengutak-atik remot ditanganku. Mencari sesuatu yang sama sekali tak menyangkut tentang natal. Yah, karena aku bosan menyaksikan berita natal sepanjang minggu. Tombol berhenti di angka 13. Ini bukan tentang natal. Tapi sebuah layanan televisi yang menayangkan berita malam.

‘Sopir truk mengantuk, nyawa seorang ibu dan anak melayang.” Begitulah ejaan besar di sudut bawah televisi ketika seorang reporter sedang meliput berita langsung itu ditempat kejadian. Kasihan sekali, ini kan malam natal. –pikirku. Ketika tiba-tiba saja saluran televisi itu memberikan sebuah video live di tempat kejadian, mataku langsung terbuka dengan lebar. Aku bangkit dari sandaran dudukku disofa itu.

‘Saya Sarah Jones melaporkan berita langsung dari P. Sherman 42 Wallaby way, Atlanta. Kita kembali ke studio Garden, silahkan.” Segera aku beranjak untuk menuju alamat yang sesuai di dalam berita. Aku mengambil kunci mobilku dan mengemudikannya dengan kecepatan penuh di atas jalanan yang licin akibat salju.

***


Tempat Kejadian Perkara (Read : TKP) kini sudah di batasi oleh garis polisi. Seorang ibu dan anaknya tergeletak di jalan dengan keadaan bersimpah darah. Salah satu dari kepala korban yang sepertinya lebih tua dari korban satunya hampir putus. Banyak sekali orang-orang yang berlalu-lalang hendak merayakan malam natal malah berkerumun ramai mengerubungi kedua korban sehingga polisi dan beberapa staff keamanan disana merasa kewalahan.

Justin mendorong paksa para pengerumun yang ada disana. Dengan segera, pria berambut spike brown itu maju menerobos garis polisi yang membatasi tempat itu. “Hey kau! Jangan masuk kesini, anak muda. Kau tak mengerti apa guna garis polisi itu, huh?!” sentak seorang staff keamanan.

“Mereka keluargaku!” Justin berlutut menggenggam tangan mom Pattie. Air mata mengucur deras dari sudut-sudut hazel itu. Memeluk ibunya dengan erat sekali. Staff keamanan itupun hanya bisa diam mematung menyaksikan kejadian mengharukan didepan matanya.

“Mommy! Kenapa semuanya jadi begini?! Kenapa kalian meninggalkanku?! Ini malam natal yang seharusnya kita lalui bersama! Apa aku hanya satu-satunya orang di dunia ini yang akan merayakannya sendirian? Kenapa tuhan terlalu cepat mengambil kalian dariku?! Err, apa aku terlalu jahat pada kalian? Apa iya? Apa aku benar-benar cocok untuk merasakan ini? Apa tuhan memang menakdirkannya untukku? Kenapa kalian begitu tega? Jangan pergiiiiiiiiii mom, Jo!” lututnya sempurna telah menyatu dengan salju bersimpah darah dari kedua orang yang dikasihinya. Air mata hangat mencairkan salju yang terkena olehnya.

Para pejalan kaki yang menyaksikan itu sontak juga menangis terharu. Mereka semua sama-sama mengalirkan air mata duka dibalik kejadian itu. Justin terus memeluk ibu dan adiknya yang sudah tergeletak tanpa nyawa. Tapi tunggu, ada sesuatu yang bergerak disana. Ya! Jemari tangan Vega perlahan mulai meraba mencari tangan kakaknya untuk digenggam. Sang kakak yang melihat itu langsung tersenyum semburat bahagia sedikit meringankan bebannya.

“Just iiiiiin ...” ucap Vega, lemah.

“Jo! Maafkan aku yang sudah membuat kalian jadi seperti ini. Aku yang salah. Aku yang menyuruh kalian untuk keluar dan jalan-jalan. Aku ini jahat, Jahat!” Justin menekan setiap kata yang dikeluarkan olehnya. Ia menggenggam erat tangan Vega. Tangisan haru kian melengkapi tempat itu.

“Kau tidak jahat. Makasih sudah menjadi seorang kakak untukku. Makasih sudah memberikanku kebahagiaan memiliki sebuah keluarga dan kakak yang baik sepertimu. Aku lelah, Justin. Aku ingin isti ... ra ... rahat.” Vega mengatakan semua itu dalam satu desahan nafas terakhirnya. Matanya perlahan menutup dan denyut nadi yang dirasakan Justin kian memelan dan akhirnya berhenti.

“JOOOooo!!!” pria bermata hazel itu berteriak sekeras yang ia bisa. Ia semakin mempererat dekapan hangat pada kedua orang yang dikasihinya yang telah benar-benar sudah tak bernyawa lagi. Tangisan histeris ikut membahana. Dan darah yang berceceran juga ikut membasahi tangan dan wajahnya yang kian terlihat suram. Di atas bongkahan salju yang dingin menusuk tulang.

~~~


THE END
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar