Author: Eny-chan Mimegumi
Genre: Historical Romance, Sad
Main Cast: Haruka (ex D'eiz and Gilltia), Rie (OC)
Support Cast: Tuan Russel, Agni, Lucas
Leght: Oneshoot
Rating: PG-13
A/N: Coba ikutan, ya
Ini fanfic lama. Pernah dipost di FB. Eniwei, ini fanfic Jepang dengan
fandom band visual kei. Hehe, kali-kali pengen kenal. Main cast-nya
mungkin agak awam (?) di telinga. Tapi gak perlu kenal band-nya gak papa
kok. Yang penting kan ceritanya
Oya, walau namanya Haruka tapi sebenarnya dia cowok, lho. Jadi jangan
misunderstanding pairingnya yuri/shoujo ai, ya. Setting fic ini sekitar
tahun 1800-an di India 'n Inggris.
Happy reading!
Will the rain ever stop, I wonder
For a pretty long time now
It's been cold
Why does the rain choose me?
Why does it choose me who has nowhere to escape to?
---
"Bahwa ada saatnya dalam hidup ini tindakan yang terbaik adalah dengan
tidak menanyakan sesuatu, terutama kalau kau menduga bahwa akan lebih
baik untukmu untuk tidak tahu jawabannya…”
---
Hujan
makin deras, mengguyur tiap inchi permukaan tanah. Suara kecipak air
yang beradu dengan langkah kaki yang dipercepat seperti nada tak
beraturan dalam gang sempit itu. Beberapa orang bersikutan sambil
melindungi kepalanya dari air hujan. Hal yang sia-sia saja karena hujan
turun makin lebat. Tak ada tempat bernaung dalam gang sempit seperti
ini.
Perempuan-perempuan berpakaian sari mengeratkan sari
mereka agar tidak melorot, walau tidak menghilangkan hamparan kulit atas
dada mereka yang tampak menggoda. Beberapa dari mereka menggandeng
jemari mungil putra atau putri kecil mereka yang menggigil kedinginan
karena kehujanan. Suara sirene memecah keheningan, membuat orang-orang
ini bergegas, tak terkecuali seorang gadis yang sengaja berpakaian
panjang mirip lelaki India. Ia merasa tubuhnya basah. Hujan membuatnya
menggigil dengan gigi bergemerutuk. Sebelah tangannya menggenggam erat
kalung yang melingkar di lehernya. Liontin berwarna hijau tampak
bersinar kemilau. Gadis itu tersenyum. Benda yang sangat indah.
Sebentar lagi… bisik gadis itu yakin. Ia sudah mengambil langkah
brilian dengan kabur dari rumah bangsawan Inggris yang menghidupinya di
Delhi. Ia meninggalkan tanah kelahirannya, negeri yang belum sepenuhnya
bebas. Sejenak gadis itu menengadahkan kepalanya, membiarkan air hujan
membasahi wajahnya. Ia tak sadar ketika seorang pria bertubuh besar
sengaja menabraknya dari belakang, membuatnya tersungkur. Tanah becek
bercampur air mengotori wajah dan bajunya. Pria bertubuh besar itu
menoleh ke belakang, tanpa bermaksud menolong atau apa. Suara sirene
yang bersahutan di antara riuhnya air hujan membuatnya makin bergegas.
Gadis itu juga sama. Tanpa mempedulikan apa yang baru saja menimpanya,
ia bangkit berdiri dan mempercepat langkah kakinya menuju pelabuhan.
Sir Anna. Kapal menuju Inggris.
Gadis itu memasukkan tangannya ke dalam saku. Sekali lagi ia membaca
pesan singkat yang diterimanya beberapa hari yang lalu. Tinta dalam
gulungan perkamen itu banyak yang luntur, tapi gadis itu ingat kata-kata
Gupta, saudagar yang membacakan surat itu untuknya.
Untuk: Rie
Sir Anna akan membawa banyak budak ke Inggris lusa depan. Pergilah. Aku
menunggumu. Apa pun alasanmu, datanglah ke Inggris. Tuan Russel sedang
berbaik hati. Ia membawaku ikut dengannya. Kubawakan untukmu kimono
berwarna putih. Kimono untuk janji pernikahan yang pernah kuucapkan.
Aku merindukanmu.
Haruka
---
“Hei!!”
Sebuah tepukan mendarat di pundak Rie. Dari lima menit yang lalu ia
mencoba memejamkan mata di tengah hiruk pikuk pria, wanita atau pun
anak-anak yang memenuhi tempat ini. Semuanya berwajah pias, menunggu
ketidakpastian dalam Sir Anna yang membawa mereka ke sebuah negeri baru,
tempat yang pastinya jauh dengan tanah kelahiran mereka. Rie berjengit,
menatap kesal ke arah laki-laki muda bermata hijau—nyaris mendekati
kuning kalau diperhatikan baik-baik—yang menatap lekat-lekat wajahnya.
“Kau… aku pernah melihatmu!!” serunya riang. “Waktu ke Kalkuta. Ah,
bukan… di mana ya? Wajahmu familiar sekali. Kau menemani bangsawan
Inggris. Ya, ya, aku ingat sekali!!” Ia menepuk kedua tangannya. “Waktu
itu kau membawa banyak sekali buah-buahan dalam keranjang. Kau
menjatuhkannya sampai membuat orang-orang meneriakimu. Kau dipukul kan?
Ah, bangsawan Inggris memang jahat!!”
Mata Rie menyorotkan tatapan tidak suka.
“Kenalkan, aku Agni…” Agni mengulurkan tangannya yang disambut tatapan
hampa Rie. Agni akhirnya menarik tangannya sambil tersenyum kecut.
“Walau kau berpakaian lelaki begini aku tahu kok kau perempuan. Yah, ada
bagian yang tidak disembunyikan oleh para wanita. Kau tahu maksudku
lah…”
“Singkirkan tanganmu!!” Rie menepis jemari Agni yang hampir menyentuh dadanya.
“Ah, ayolah… kamar mandi di sana dijadikan tempat giliran untuk… ehm,
kau tahu maksudku…” Agni tertawa terbahak. “Inggris jauh sekali. Mungkin
bisa berminggu-minggu kita terkurung di sini. Lautan tempat yang tidak
bisa ditebak. Kita sampai dengan selamat pun masih menjadi misteri yang
tak terpecahkan. Kau pernah melihat hiu?”
“Menjauhlah, aku tidak mau berurusan denganmu!!”
Agni memajukan bibirnya. “Galak sekali!! Baiklah, aku tidak akan
mengganggumu. Tapi…” dengan cepat telapak tangan Agni yang dingin
meremas dada Rie, membuat Rie tercekat. Spontan ia menampar pipi Agni
yang telah memperlakukannya dengan tidak senonoh. Agni hanya tertawa.
“Apa yang kudapat sepadan dengan apa yang kuterima, Gadis Kecil.”
Rie mengumpat. Ia mendengus kesal. Air mata mengalir turun dari ujung
kelopak matanya, tapi ia buru-buru menghapusnya. Diremasnya liontin
berwarna hijau yang melingkar di lehernya. Ini tidak seberapa, bisik
Rie. Sudah banyak hal buruk yang menimpanya sebelum ini, dan apa yang
baru saja ia rasakan sama sekali tidak seberapa. Rie menghembuskan
napas. Tempat ini seperti sauna—pengap, sesak, panas dan bau.
Semoga Inggris tak seburuk ini. Semoga Inggris sama hangatnya dengan
dekapan ibu, seperti hangatnya Ratu Victoria yang menancapkan
kekuasaannya dalam negeri itu.
---
“Setelah ini, kita
ke Rusia. Berburu matrioshka. Inggris bukan negeri yang menyenangkan
untuk ditinggali. Bukan begitu, Haruka?” Tuan Russel menyampirkan jas
hitamnya di atas lengan kirinya yang dibalut kemeja warna putih.
“Berurusan dengan si tua bangka itu membuatku capek. Apa salahnya dengan
barang antik milik keluarga Deutrich? Harga diriku tersinggung ketika
dia mengatakan kalau cangkir-cangkir itu palsu.” Tuan Russel mengumpat
pelan. “Kalau pada akhirnya dia tidak percaya padaku, aku tidak akan
sudi jauh-jauh pergi ke Inggris. Negerimu lebih menyenangkan. Paling
tidak banyak geisha…”
Haruka mengangguk. “Anda mau kembali ke
Jepang?” tanyanya spontan. Wajahnya kalut, walau ia berusaha menutupinya
dengan intonasi suaranya yang tetap sopan. “Menurut saya Inggris negeri
yang indah. Industri berkembang bagus di sini. Sayang sekali Anda tidak
bisa bersinggungan dengan pihak kerajaan.”
“Ah ya, itu tidak
perlu. Kita ke sini demi uang, Haruka. Ah, aku rindu Suzu…” Mata Tuan
Russel menerawang. “Menurutmu apa tidak konyol seseorang seperti aku
merindukan Suzu?” Tuan Russel menatap Haruka, meminta persetujuan.
Haruka hanya tersenyum simpul, membuat Tuan Russel berdecak. Ia tahu
pertanyaan itu memang konyol.
“Tergantung perasaan Anda, Tuan
Russel. Anda tidak perlu menerima jawaban dari pertanyaan yang Anda
sendiri tahu persis apa jawabannya.”
“Seperti biasa kau memang
menyebalkan. Aku lelah sekali…” Tuan Russel meregangkan tubuhnya,
terdengar sendi-sendinya bergemeretak. “Haruka… aku ingin minum itu,
yang kita beli di India. Seduhkan untukku.”
Tubuh Haruka
mendadak kaku begitu mendengar kata India. Matanya melirik sekilas ke
arah jendela yang berkabut karena di luar turun hujan lebat. Satu kata
itu membuatnya teringat kembali pekan-pekan menyenangkan di sana saat
Tuan Russel mengunjungi kerabatnya yang menjual kain-kain terbaik dari
India. Ia tidak akan pernah lupa pertemuannya dengan Rie, seorang gadis
yang ditemuinya saat Tuan Russel menghadiri perjamuan makan malam di
sebuah rumah bangsawan Inggris yang menetap di India. Kastanya jelas
Sudra, kasta terendah dalam strata umat Hindu. Kaum Sudra sudah biasa
‘diinjak-injak’, tidak seperti kaum Brahmin. Haruka sudah sering
mendengar hal itu.
“Maaf, Anda tidak boleh berbicara pada saya. Sama sekali tidak boleh…”
Itu kalimat pertama yang diucapkan Rie saat Haruka menegurnya. Sama
seperti para pekerja yang lain—sebut saja buruh atau budak—orang-orang
seperti Rie tidak boleh bertegur sapa dengan orang asing. Itu larangan
tertulis yang harus dipatuhi dari majikan.
“Hanya nama?” tanya
Haruka waktu itu bersikeras, walau Rie sudah siap-siap masuk ke dalam
sambil menundukkan wajah. “Tidak masalah kan kalau hanya sekedar nama?”
Kaki Rie berhenti melangkah. Sambil menggigit bibir ia menengadahkan
wajah, satu hal yang dilarang majikannya. Kaum terpinggirkan sepertinya
dilarang keras bertatap muka, saling tatap dengan orang asing. Saat itu
pertama kalinya Rie menatap pria asing bertubuh tinggi kurus dan bermata
sipit itu. Tangannya mencengkeram pinggiran baskom erat-erat saat
dirasakannya mata Haruka menatap lurus-lurus ke arahnya.
“Siapa namamu?”
“Sa… saya sebenarnya tidak punya nama…” bibir Rie sedikit gemetar.
“Tapi majikan saya sering memanggil saya Rie. Maaf, permisi…” Rie
akhirnya menundukkan wajah kembali dan bergegas berlari ke arah dapur,
meninggalkan Haruka yang mematung sambil menatap punggungnya.
“Haruka…” suara berat milik Tuan Russel menyadarkan Haruka dari
lamunannya barusan. Haruka buru-buru membawa pesanan teh Assam yang
diminta Tuan Russel tadi.
Tubuh Tuan Russel yang tambun tampak
terduduk santai di kursi malas. Ia menoleh, menatap Haruka yang
tersenyum ke arah pria tua beruban itu. Jemari Tuan Russel menjepit
cerutu. Haruka meletakkan cangkir teh di atas meja berukir di samping
Tuan Russel.
“Berapa lama lagi aku harus berada di sini, Haruka? Kapan menurutmu kita ke Rusia? Besok atau lusa?”
Haruka menahan napas. Tidak boleh secepat itu! pikirnya sambil
mengepalkan tangan. “Sepertinya Anda masih bisa membujuk Mr. Abraham
untuk membeli cangkir-cangkir keluarga Deutrich. Maksud saya, Anda sudah
lama berada di Inggris. Anda tidak mungkin pergi begitu saja tanpa
membawa apa-apa. Itu sama saja dengan menghamburkan uang.”
“Kelihatannya kau seperti punya banyak kepentingan di Inggris saja…”
Tuan Russel terbahak. “Memburu kekayaan Tsar Nicholas lebih membuatku
tertarik.”
“Tapi, Tuan…”
“Kau tahu uang bukan masalah
besar buatku, Haruka. Ada apa denganmu?” Mata Tuan Russel mengerling ke
arah Haruka. “Cukup turuti saja perintahku.”
Haruka hanya mengangguk.
Hujan mulai reda, tapi tidak sereda gemuruh dalam dada Haruka.
---
Haruka menyandarkan punggungnya. Ia memijit pelipisnya perlahan,
berusaha menenangkan diri. Matanya tertuju pada sebuah kotak berwarna
biru muda. Di dalamnya terdapat kimono berwarna putih, kimono yang ia
janjikan pada Rie. Saat pulang ke Jepang bersama Tuan Russel, Haruka
membelinya. Haruka berpikir pasti Rie akan terlihat sangat cantik ketika
memakai kimono itu.
Mata Haruka menerawang ke arah jendela,
menatap pemandangan pohon pinus yang terhampar menyejukkan di depan
villa pribadi milik Tuan Russel. Sebelah tangannya mengelus jam saku
berwarna emas miliknya yang dihadiahkan Tuan Russel beberapa waktu yang
lalu. Jarum dalam jam saku itu berdetak konstan, mengimbangi detak
jantung Haruka.
Mungkin memang pemikiran bodoh mengirim surat
pada Rie dan memintanya datang ke Inggris menggunakan Sir Anna. Surat
itu mungkin saja ditahan oleh majikan Rie dan gadis itu tidak sempat
membacanya. Banyak kemungkinan yang terjadi. Haruka memejamkan mata,
mencoba mengingat senyum Rie yang terpatri jelas di benaknya. Beberapa
saat kemudian pria kurus itu membuka kedua matanya dan mulai bangkit
mendekat ke arah jendela.
Seperti yang didengar Haruka,
menurut pegawai pelabuhan Sir Anna akan terlambat datang. Lautan sedang
mengamuk, hujan badai membuat Sir Anna terjebak di tengah lautan.
Jantung Haruka berdetak cepat saat membayangkan kemungkinan Rie berada
dalam Sir Anna, sendirian, tidak ada yang bisa ia mintai pertolongan.
Tapi mungkin juga Rie masih berada di India, sedang menyapu atau entah
apa karena surat yang ia kirimkan tidak sampai padanya. Haruka gelisah.
Ini namanya untung-untungan. Kalau Sir Anna sudah merapat di pelabuhan,
Haruka akan mencarinya, itu pasti.
“Kenapa Tuan ingin sekali mengenal saya?”
Haruka tersenyum mengingat pertanyaan Rie itu. Gadis itu menanyakannya saat pertemuan kedua mereka.
“Karena aku sangat menghargai pertemuan. Aku melihat takdir antara aku
dan jarimu…” Haruka menunjukkan jari kelingkingnya. “Aku percaya ada
sesuatu yang tidak terlihat di sini, benang merah antara aku dan juga
jari kelingking milikmu. Apa kau percaya?”
Rie mengedikkan
bahunya. “Saya tidak mengerti. Saya tidak pernah mendengar hal semacam
itu. Saya bukan gadis terpelajar, saya cuma budak.”
“Dulu aku
juga budak sampai umurku 14 tahun. Pertemuanku dengan Tuan Russel
mengubah nasibku. Ah, berapa umurmu, Rie? Kelihatannya kau masih muda.”
“Orang tua saya tidak menginginkan saya. Saya dibuang waktu masih
bayi…” Rie memalingkan wajah. “Anda mau memberi saya umur?” Rie tertawa
miris. “Mungkin saya berusia sama dengan Tuan. Mungkin juga saya sepuluh
tahun lebih tua, bisa juga sepuluh tahun lebih muda. Tergantung
keinginan Tuan.”
“Kau tidak tahu tanggal lahirmu sendiri?”
Rie tertawa terbahak. “Saya bisa makan manisan setiap hari saja sudah
beruntung. Memikirkan tanggal lahir sama sekali tidak membuat saya bisa
hidup. Hidup Tuan berbeda dengan saya…”
Haruka menatap wajah
Rie. Ada gurat kesedihan, kekecewaan dan kekerasan hidup di sana.
Perlahan diusapnya bahu Rie yang sedikit gemetar. Haruka menundukkan
tubuhnya, membuat wajahnya sejajar dengan wajah Rie.
“Tentu
saja hidup kita berbeda, Rie. Aku orang Jepang asli yang kebetulan
bertemu dengan Tuan Russel yang mantan pastor. Sejak Tuan Russel
‘membeliku’ aku selalu berkeliling ke mana-mana, menemaninya
menghabiskan warisan orang tuanya yang dulu tinggal di Vatikan.
Sementara kau sendiri semenjak kecil tinggal di India, apa kau tidak
berpikir pertemuan kita memang sudah direncanakan?”
Rie menggelengkan kepalanya. “Siapa yang merencanakannya?”
“Aku juga tidak tahu…” Haruka tersenyum. “Mungkin lebih baik kita tidak
menanyakannya, biarkan saja semua mengalir apa adanya. Setiap kata dan
langkah yang kita lakukan setiap hari pasti mempengaruhi orang lain,
sekecil apa pun itu. Sekarang biarkan kata dan langkah yang kulakukan
mempengaruhi peruntunganmu.”
“Apa saya pantas? Maksud saya, saya cuma seorang…”
Haruka meletakkan telunjuknya di depan bibir Rie. “Semua orang pantas
mendapatkan apa yang terbaik. Baiklah, kumulai ya. Pilih angka yang kau
suka.”
“Berapa pun?”
Haruka mengangguk.
Rie tampak berpikir. “Ehm… 2 dan 7?”
“Baiklah,” Haruka menepuk kedua tangannya. “Aku suka angka 5. Kau
memintaku memberimu umur kan? Sudah kutetapkan, tanggal 27 bulan 5. Tiap
tahunnya usiamu akan bertambah satu tahun. Kita mulai tahun ini saat
kau berumur 1 tahun.”
“Tapi saya tidak semuda itu. Masa umur saya 1 tahun?”
Haruka berkacak pinggang, pura-pura memasang wajah marah. “Katanya terserah aku?”
Melihat itu tak urung Rie tertawa kecil. Ia hanya mengangguk, lalu
menundukkan wajah. Haruka mengulurkan tangannya dan memegang jemari Rie.
Saat itu hanya Haruka yang tahu betapa dinginnya jemari gadis itu, satu
hal yang membuatnya berpikir hanya ia yang mampu menghangatkannya
kembali. Janji itu terus terukir dalam-dalam di dadanya sampai saat ini,
membuat Haruka tak bisa lepas dari Rie walau dimana pun ia berada.
“Tanganmu dingin…”
“…”
“Apa selalu sedingin ini? Setiap hari?”
Rie hanya menganggukkan kepala.
“Kalau begitu, aku yang akan menghangatkannya untukmu, setiap hari. Kau tahu bagaimana caranya?”
Rie balik menggenggam erat jemari Haruka. “Iya, saya tahu caranya…”
Kini Haruka menatap telapak tangannya sendiri. Ia meletakkannya
perlahan di atas kaca jendela kamarnya. Haruka dapat merasakan dinginnya
kaca meresap ke dalam telapak tangannya. Ia sangat merindukan Rie, ia
ingin sekali mendekap dan menggenggam tangan gadis itu, memberinya
kehangatan yang menenangkan. Dengan keadaannya sekarang ia tidak bisa
melakukan apa pun, bahkan meneriakkan nama pun tak akan ada seorang pun
yang mengerti betapa sakit hatinya karena menginginkan gadis itu.
“Aku merindukanmu…” bisik Haruka di antara keremangan kamarnya, hingga sebuah ketukan pintu dari luar kamar menyadarkannya.
Lucas, tukang kebun yang merawat villa Tuan Russel berdiri di depan
pintu. Matanya bergerak-gerak gelisah, tangannya menggenggam secaris
kertas yang kelihatannya masih baru. Haruka mengangkat alis tanda kalau
ia sebenarnya tidak suka diganggu dengan kedatangan Lucas yang
tiba-tiba.
“Apa?”
Lucas memilin-milin ujung bajunya.
“Tuan meminta saya memberi tahu kalau ada kabar terbaru dari pelabuhan…”
Lucas terlihat makin gelisah. “Tadi ada yang memberi tahu saya Sir Anna
tidak akan sampai di pelabuhan sampai kapan pun. Sir Anna tenggelam.
Mungkin ada beberapa yang selamat, tapi perahu penyelamat yang
disediakan pasti tidak sebanyak penumpangnya. Apalagi banyak penumpang
gelap, budak-budak India yang diselundupkan ke Inggris untuk
dipekerjakan, jadi kemungkinan…”
Mendadak kabut gelap tampak
menghias mata Haruka. Perutnya mendadak mual, dan ia merasa darah
bergejolak hebat dalam tubuhnya. Haruka menatap telapak tangannya,
matanya tertuju ke arah jari kelingkingnya sendiri. Bahkan sejujurnya ia
tidak pernah sekali pun melihat benang merah itu ada. Atau mungkin
selama ini ia yang mengharap dan mengkhayalkannya terlihat antara ia dan
Rie.
Dan hujan pun terus turun, seperti tak pernah berhenti.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar