Kamis, 27 Februari 2014

[Freelance] Silence Birthday

Author: Eny-chan Mimegumi
Genre: Historical Romance, Sad
Main Cast: Haruka (ex D'eiz and Gilltia), Rie (OC)
Support Cast: Tuan Russel, Agni, Lucas
Leght: Oneshoot
Rating: PG-13
A/N: Coba ikutan, ya Ini fanfic lama. Pernah dipost di FB. Eniwei, ini fanfic Jepang dengan fandom band visual kei. Hehe, kali-kali pengen kenal. Main cast-nya mungkin agak awam (?) di telinga. Tapi gak perlu kenal band-nya gak papa kok. Yang penting kan ceritanya Oya, walau namanya Haruka tapi sebenarnya dia cowok, lho. Jadi jangan misunderstanding pairingnya yuri/shoujo ai, ya. Setting fic ini sekitar tahun 1800-an di India 'n Inggris.

Happy reading!

 Will the rain ever stop, I wonder
For a pretty long time now
It's been cold
Why does the rain choose me?
Why does it choose me who has nowhere to escape to?

---

"Bahwa ada saatnya dalam hidup ini tindakan yang terbaik adalah dengan tidak menanyakan sesuatu, terutama kalau kau menduga bahwa akan lebih baik untukmu untuk tidak tahu jawabannya…”

---

Hujan makin deras, mengguyur tiap inchi permukaan tanah. Suara kecipak air yang beradu dengan langkah kaki yang dipercepat seperti nada tak beraturan dalam gang sempit itu. Beberapa orang bersikutan sambil melindungi kepalanya dari air hujan. Hal yang sia-sia saja karena hujan turun makin lebat. Tak ada tempat bernaung dalam gang sempit seperti ini.

Perempuan-perempuan berpakaian sari mengeratkan sari mereka agar tidak melorot, walau tidak menghilangkan hamparan kulit atas dada mereka yang tampak menggoda. Beberapa dari mereka menggandeng jemari mungil putra atau putri kecil mereka yang menggigil kedinginan karena kehujanan. Suara sirene memecah keheningan, membuat orang-orang ini bergegas, tak terkecuali seorang gadis yang sengaja berpakaian panjang mirip lelaki India. Ia merasa tubuhnya basah. Hujan membuatnya menggigil dengan gigi bergemerutuk. Sebelah tangannya menggenggam erat kalung yang melingkar di lehernya. Liontin berwarna hijau tampak bersinar kemilau. Gadis itu tersenyum. Benda yang sangat indah.

Sebentar lagi… bisik gadis itu yakin. Ia sudah mengambil langkah brilian dengan kabur dari rumah bangsawan Inggris yang menghidupinya di Delhi. Ia meninggalkan tanah kelahirannya, negeri yang belum sepenuhnya bebas. Sejenak gadis itu menengadahkan kepalanya, membiarkan air hujan membasahi wajahnya. Ia tak sadar ketika seorang pria bertubuh besar sengaja menabraknya dari belakang, membuatnya tersungkur. Tanah becek bercampur air mengotori wajah dan bajunya. Pria bertubuh besar itu menoleh ke belakang, tanpa bermaksud menolong atau apa. Suara sirene yang bersahutan di antara riuhnya air hujan membuatnya makin bergegas. Gadis itu juga sama. Tanpa mempedulikan apa yang baru saja menimpanya, ia bangkit berdiri dan mempercepat langkah kakinya menuju pelabuhan.

Sir Anna. Kapal menuju Inggris.

Gadis itu memasukkan tangannya ke dalam saku. Sekali lagi ia membaca pesan singkat yang diterimanya beberapa hari yang lalu. Tinta dalam gulungan perkamen itu banyak yang luntur, tapi gadis itu ingat kata-kata Gupta, saudagar yang membacakan surat itu untuknya.

Untuk: Rie

Sir Anna akan membawa banyak budak ke Inggris lusa depan. Pergilah. Aku menunggumu. Apa pun alasanmu, datanglah ke Inggris. Tuan Russel sedang berbaik hati. Ia membawaku ikut dengannya. Kubawakan untukmu kimono berwarna putih. Kimono untuk janji pernikahan yang pernah kuucapkan.

Aku merindukanmu.

Haruka

---

“Hei!!”

Sebuah tepukan mendarat di pundak Rie. Dari lima menit yang lalu ia mencoba memejamkan mata di tengah hiruk pikuk pria, wanita atau pun anak-anak yang memenuhi tempat ini. Semuanya berwajah pias, menunggu ketidakpastian dalam Sir Anna yang membawa mereka ke sebuah negeri baru, tempat yang pastinya jauh dengan tanah kelahiran mereka. Rie berjengit, menatap kesal ke arah laki-laki muda bermata hijau—nyaris mendekati kuning kalau diperhatikan baik-baik—yang menatap lekat-lekat wajahnya.

“Kau… aku pernah melihatmu!!” serunya riang. “Waktu ke Kalkuta. Ah, bukan… di mana ya? Wajahmu familiar sekali. Kau menemani bangsawan Inggris. Ya, ya, aku ingat sekali!!” Ia menepuk kedua tangannya. “Waktu itu kau membawa banyak sekali buah-buahan dalam keranjang. Kau menjatuhkannya sampai membuat orang-orang meneriakimu. Kau dipukul kan? Ah, bangsawan Inggris memang jahat!!”

Mata Rie menyorotkan tatapan tidak suka.

“Kenalkan, aku Agni…” Agni mengulurkan tangannya yang disambut tatapan hampa Rie. Agni akhirnya menarik tangannya sambil tersenyum kecut. “Walau kau berpakaian lelaki begini aku tahu kok kau perempuan. Yah, ada bagian yang tidak disembunyikan oleh para wanita. Kau tahu maksudku lah…”

“Singkirkan tanganmu!!” Rie menepis jemari Agni yang hampir menyentuh dadanya.

“Ah, ayolah… kamar mandi di sana dijadikan tempat giliran untuk… ehm, kau tahu maksudku…” Agni tertawa terbahak. “Inggris jauh sekali. Mungkin bisa berminggu-minggu kita terkurung di sini. Lautan tempat yang tidak bisa ditebak. Kita sampai dengan selamat pun masih menjadi misteri yang tak terpecahkan. Kau pernah melihat hiu?”

“Menjauhlah, aku tidak mau berurusan denganmu!!”

Agni memajukan bibirnya. “Galak sekali!! Baiklah, aku tidak akan mengganggumu. Tapi…” dengan cepat telapak tangan Agni yang dingin meremas dada Rie, membuat Rie tercekat. Spontan ia menampar pipi Agni yang telah memperlakukannya dengan tidak senonoh. Agni hanya tertawa. “Apa yang kudapat sepadan dengan apa yang kuterima, Gadis Kecil.”

Rie mengumpat. Ia mendengus kesal. Air mata mengalir turun dari ujung kelopak matanya, tapi ia buru-buru menghapusnya. Diremasnya liontin berwarna hijau yang melingkar di lehernya. Ini tidak seberapa, bisik Rie. Sudah banyak hal buruk yang menimpanya sebelum ini, dan apa yang baru saja ia rasakan sama sekali tidak seberapa. Rie menghembuskan napas. Tempat ini seperti sauna—pengap, sesak, panas dan bau.

Semoga Inggris tak seburuk ini. Semoga Inggris sama hangatnya dengan dekapan ibu, seperti hangatnya Ratu Victoria yang menancapkan kekuasaannya dalam negeri itu.

---

“Setelah ini, kita ke Rusia. Berburu matrioshka. Inggris bukan negeri yang menyenangkan untuk ditinggali. Bukan begitu, Haruka?” Tuan Russel menyampirkan jas hitamnya di atas lengan kirinya yang dibalut kemeja warna putih. “Berurusan dengan si tua bangka itu membuatku capek. Apa salahnya dengan barang antik milik keluarga Deutrich? Harga diriku tersinggung ketika dia mengatakan kalau cangkir-cangkir itu palsu.” Tuan Russel mengumpat pelan. “Kalau pada akhirnya dia tidak percaya padaku, aku tidak akan sudi jauh-jauh pergi ke Inggris. Negerimu lebih menyenangkan. Paling tidak banyak geisha…”

Haruka mengangguk. “Anda mau kembali ke Jepang?” tanyanya spontan. Wajahnya kalut, walau ia berusaha menutupinya dengan intonasi suaranya yang tetap sopan. “Menurut saya Inggris negeri yang indah. Industri berkembang bagus di sini. Sayang sekali Anda tidak bisa bersinggungan dengan pihak kerajaan.”

“Ah ya, itu tidak perlu. Kita ke sini demi uang, Haruka. Ah, aku rindu Suzu…” Mata Tuan Russel menerawang. “Menurutmu apa tidak konyol seseorang seperti aku merindukan Suzu?” Tuan Russel menatap Haruka, meminta persetujuan. Haruka hanya tersenyum simpul, membuat Tuan Russel berdecak. Ia tahu pertanyaan itu memang konyol.

“Tergantung perasaan Anda, Tuan Russel. Anda tidak perlu menerima jawaban dari pertanyaan yang Anda sendiri tahu persis apa jawabannya.”

“Seperti biasa kau memang menyebalkan. Aku lelah sekali…” Tuan Russel meregangkan tubuhnya, terdengar sendi-sendinya bergemeretak. “Haruka… aku ingin minum itu, yang kita beli di India. Seduhkan untukku.”

Tubuh Haruka mendadak kaku begitu mendengar kata India. Matanya melirik sekilas ke arah jendela yang berkabut karena di luar turun hujan lebat. Satu kata itu membuatnya teringat kembali pekan-pekan menyenangkan di sana saat Tuan Russel mengunjungi kerabatnya yang menjual kain-kain terbaik dari India. Ia tidak akan pernah lupa pertemuannya dengan Rie, seorang gadis yang ditemuinya saat Tuan Russel menghadiri perjamuan makan malam di sebuah rumah bangsawan Inggris yang menetap di India. Kastanya jelas Sudra, kasta terendah dalam strata umat Hindu. Kaum Sudra sudah biasa ‘diinjak-injak’, tidak seperti kaum Brahmin. Haruka sudah sering mendengar hal itu.

“Maaf, Anda tidak boleh berbicara pada saya. Sama sekali tidak boleh…”

Itu kalimat pertama yang diucapkan Rie saat Haruka menegurnya. Sama seperti para pekerja yang lain—sebut saja buruh atau budak—orang-orang seperti Rie tidak boleh bertegur sapa dengan orang asing. Itu larangan tertulis yang harus dipatuhi dari majikan.

“Hanya nama?” tanya Haruka waktu itu bersikeras, walau Rie sudah siap-siap masuk ke dalam sambil menundukkan wajah. “Tidak masalah kan kalau hanya sekedar nama?”

Kaki Rie berhenti melangkah. Sambil menggigit bibir ia menengadahkan wajah, satu hal yang dilarang majikannya. Kaum terpinggirkan sepertinya dilarang keras bertatap muka, saling tatap dengan orang asing. Saat itu pertama kalinya Rie menatap pria asing bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit itu. Tangannya mencengkeram pinggiran baskom erat-erat saat dirasakannya mata Haruka menatap lurus-lurus ke arahnya.

“Siapa namamu?”

“Sa… saya sebenarnya tidak punya nama…” bibir Rie sedikit gemetar. “Tapi majikan saya sering memanggil saya Rie. Maaf, permisi…” Rie akhirnya menundukkan wajah kembali dan bergegas berlari ke arah dapur, meninggalkan Haruka yang mematung sambil menatap punggungnya.

“Haruka…” suara berat milik Tuan Russel menyadarkan Haruka dari lamunannya barusan. Haruka buru-buru membawa pesanan teh Assam yang diminta Tuan Russel tadi.

Tubuh Tuan Russel yang tambun tampak terduduk santai di kursi malas. Ia menoleh, menatap Haruka yang tersenyum ke arah pria tua beruban itu. Jemari Tuan Russel menjepit cerutu. Haruka meletakkan cangkir teh di atas meja berukir di samping Tuan Russel.

“Berapa lama lagi aku harus berada di sini, Haruka? Kapan menurutmu kita ke Rusia? Besok atau lusa?”

Haruka menahan napas. Tidak boleh secepat itu! pikirnya sambil mengepalkan tangan. “Sepertinya Anda masih bisa membujuk Mr. Abraham untuk membeli cangkir-cangkir keluarga Deutrich. Maksud saya, Anda sudah lama berada di Inggris. Anda tidak mungkin pergi begitu saja tanpa membawa apa-apa. Itu sama saja dengan menghamburkan uang.”

“Kelihatannya kau seperti punya banyak kepentingan di Inggris saja…” Tuan Russel terbahak. “Memburu kekayaan Tsar Nicholas lebih membuatku tertarik.”

“Tapi, Tuan…”

“Kau tahu uang bukan masalah besar buatku, Haruka. Ada apa denganmu?” Mata Tuan Russel mengerling ke arah Haruka. “Cukup turuti saja perintahku.”

Haruka hanya mengangguk.

Hujan mulai reda, tapi tidak sereda gemuruh dalam dada Haruka.

---

Haruka menyandarkan punggungnya. Ia memijit pelipisnya perlahan, berusaha menenangkan diri. Matanya tertuju pada sebuah kotak berwarna biru muda. Di dalamnya terdapat kimono berwarna putih, kimono yang ia janjikan pada Rie. Saat pulang ke Jepang bersama Tuan Russel, Haruka membelinya. Haruka berpikir pasti Rie akan terlihat sangat cantik ketika memakai kimono itu.

Mata Haruka menerawang ke arah jendela, menatap pemandangan pohon pinus yang terhampar menyejukkan di depan villa pribadi milik Tuan Russel. Sebelah tangannya mengelus jam saku berwarna emas miliknya yang dihadiahkan Tuan Russel beberapa waktu yang lalu. Jarum dalam jam saku itu berdetak konstan, mengimbangi detak jantung Haruka.

Mungkin memang pemikiran bodoh mengirim surat pada Rie dan memintanya datang ke Inggris menggunakan Sir Anna. Surat itu mungkin saja ditahan oleh majikan Rie dan gadis itu tidak sempat membacanya. Banyak kemungkinan yang terjadi. Haruka memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Rie yang terpatri jelas di benaknya. Beberapa saat kemudian pria kurus itu membuka kedua matanya dan mulai bangkit mendekat ke arah jendela.

Seperti yang didengar Haruka, menurut pegawai pelabuhan Sir Anna akan terlambat datang. Lautan sedang mengamuk, hujan badai membuat Sir Anna terjebak di tengah lautan. Jantung Haruka berdetak cepat saat membayangkan kemungkinan Rie berada dalam Sir Anna, sendirian, tidak ada yang bisa ia mintai pertolongan. Tapi mungkin juga Rie masih berada di India, sedang menyapu atau entah apa karena surat yang ia kirimkan tidak sampai padanya. Haruka gelisah. Ini namanya untung-untungan. Kalau Sir Anna sudah merapat di pelabuhan, Haruka akan mencarinya, itu pasti.

“Kenapa Tuan ingin sekali mengenal saya?”

Haruka tersenyum mengingat pertanyaan Rie itu. Gadis itu menanyakannya saat pertemuan kedua mereka.

“Karena aku sangat menghargai pertemuan. Aku melihat takdir antara aku dan jarimu…” Haruka menunjukkan jari kelingkingnya. “Aku percaya ada sesuatu yang tidak terlihat di sini, benang merah antara aku dan juga jari kelingking milikmu. Apa kau percaya?”

Rie mengedikkan bahunya. “Saya tidak mengerti. Saya tidak pernah mendengar hal semacam itu. Saya bukan gadis terpelajar, saya cuma budak.”

“Dulu aku juga budak sampai umurku 14 tahun. Pertemuanku dengan Tuan Russel mengubah nasibku. Ah, berapa umurmu, Rie? Kelihatannya kau masih muda.”

“Orang tua saya tidak menginginkan saya. Saya dibuang waktu masih bayi…” Rie memalingkan wajah. “Anda mau memberi saya umur?” Rie tertawa miris. “Mungkin saya berusia sama dengan Tuan. Mungkin juga saya sepuluh tahun lebih tua, bisa juga sepuluh tahun lebih muda. Tergantung keinginan Tuan.”

“Kau tidak tahu tanggal lahirmu sendiri?”

Rie tertawa terbahak. “Saya bisa makan manisan setiap hari saja sudah beruntung. Memikirkan tanggal lahir sama sekali tidak membuat saya bisa hidup. Hidup Tuan berbeda dengan saya…”

Haruka menatap wajah Rie. Ada gurat kesedihan, kekecewaan dan kekerasan hidup di sana. Perlahan diusapnya bahu Rie yang sedikit gemetar. Haruka menundukkan tubuhnya, membuat wajahnya sejajar dengan wajah Rie.

“Tentu saja hidup kita berbeda, Rie. Aku orang Jepang asli yang kebetulan bertemu dengan Tuan Russel yang mantan pastor. Sejak Tuan Russel ‘membeliku’ aku selalu berkeliling ke mana-mana, menemaninya menghabiskan warisan orang tuanya yang dulu tinggal di Vatikan. Sementara kau sendiri semenjak kecil tinggal di India, apa kau tidak berpikir pertemuan kita memang sudah direncanakan?”

Rie menggelengkan kepalanya. “Siapa yang merencanakannya?”

“Aku juga tidak tahu…” Haruka tersenyum. “Mungkin lebih baik kita tidak menanyakannya, biarkan saja semua mengalir apa adanya. Setiap kata dan langkah yang kita lakukan setiap hari pasti mempengaruhi orang lain, sekecil apa pun itu. Sekarang biarkan kata dan langkah yang kulakukan mempengaruhi peruntunganmu.”

“Apa saya pantas? Maksud saya, saya cuma seorang…”

Haruka meletakkan telunjuknya di depan bibir Rie. “Semua orang pantas mendapatkan apa yang terbaik. Baiklah, kumulai ya. Pilih angka yang kau suka.”

“Berapa pun?”

Haruka mengangguk.

Rie tampak berpikir. “Ehm… 2 dan 7?”

“Baiklah,” Haruka menepuk kedua tangannya. “Aku suka angka 5. Kau memintaku memberimu umur kan? Sudah kutetapkan, tanggal 27 bulan 5. Tiap tahunnya usiamu akan bertambah satu tahun. Kita mulai tahun ini saat kau berumur 1 tahun.”

“Tapi saya tidak semuda itu. Masa umur saya 1 tahun?”

Haruka berkacak pinggang, pura-pura memasang wajah marah. “Katanya terserah aku?”

Melihat itu tak urung Rie tertawa kecil. Ia hanya mengangguk, lalu menundukkan wajah. Haruka mengulurkan tangannya dan memegang jemari Rie. Saat itu hanya Haruka yang tahu betapa dinginnya jemari gadis itu, satu hal yang membuatnya berpikir hanya ia yang mampu menghangatkannya kembali. Janji itu terus terukir dalam-dalam di dadanya sampai saat ini, membuat Haruka tak bisa lepas dari Rie walau dimana pun ia berada.

“Tanganmu dingin…”

“…”

“Apa selalu sedingin ini? Setiap hari?”

Rie hanya menganggukkan kepala.

“Kalau begitu, aku yang akan menghangatkannya untukmu, setiap hari. Kau tahu bagaimana caranya?”

Rie balik menggenggam erat jemari Haruka. “Iya, saya tahu caranya…”

Kini Haruka menatap telapak tangannya sendiri. Ia meletakkannya perlahan di atas kaca jendela kamarnya. Haruka dapat merasakan dinginnya kaca meresap ke dalam telapak tangannya. Ia sangat merindukan Rie, ia ingin sekali mendekap dan menggenggam tangan gadis itu, memberinya kehangatan yang menenangkan. Dengan keadaannya sekarang ia tidak bisa melakukan apa pun, bahkan meneriakkan nama pun tak akan ada seorang pun yang mengerti betapa sakit hatinya karena menginginkan gadis itu.

“Aku merindukanmu…” bisik Haruka di antara keremangan kamarnya, hingga sebuah ketukan pintu dari luar kamar menyadarkannya.

Lucas, tukang kebun yang merawat villa Tuan Russel berdiri di depan pintu. Matanya bergerak-gerak gelisah, tangannya menggenggam secaris kertas yang kelihatannya masih baru. Haruka mengangkat alis tanda kalau ia sebenarnya tidak suka diganggu dengan kedatangan Lucas yang tiba-tiba.

“Apa?”

Lucas memilin-milin ujung bajunya. “Tuan meminta saya memberi tahu kalau ada kabar terbaru dari pelabuhan…” Lucas terlihat makin gelisah. “Tadi ada yang memberi tahu saya Sir Anna tidak akan sampai di pelabuhan sampai kapan pun. Sir Anna tenggelam. Mungkin ada beberapa yang selamat, tapi perahu penyelamat yang disediakan pasti tidak sebanyak penumpangnya. Apalagi banyak penumpang gelap, budak-budak India yang diselundupkan ke Inggris untuk dipekerjakan, jadi kemungkinan…”

Mendadak kabut gelap tampak menghias mata Haruka. Perutnya mendadak mual, dan ia merasa darah bergejolak hebat dalam tubuhnya. Haruka menatap telapak tangannya, matanya tertuju ke arah jari kelingkingnya sendiri. Bahkan sejujurnya ia tidak pernah sekali pun melihat benang merah itu ada. Atau mungkin selama ini ia yang mengharap dan mengkhayalkannya terlihat antara ia dan Rie.

Dan hujan pun terus turun, seperti tak pernah berhenti.

-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar