Senin, 03 Februari 2014

[Freelance] Back to December


Author: Dwilian Ramzanni
Genre :Angst, Sad
Cast : Kris Wu [EXO], Kim Youngmi
Leght : Oneshot
Rating : PG-15

-oOo-

HSH—Lianzanny | Angst, Sad | Kim Youngmi, Kris Wu | PG-15

Recommended song: Taylor Swift - Back to December

-oOo-

Lantunan melodi indah terdengar dari sebuah gitar yang digenggamnya. Ia memetik senarnya perlahan dengan wajah menerawang. Surai kecokelatannya tertiup terbawa desau angin yang terus-menerus melantunkan iringan syahdu dinginnya udara. Namun, dirinya seolah mati rasa. Ia terus saja duduk di sana—di bawah pohon ek yang memayunginya dengan dedaunan lebat.

Wajah cantiknya tampak agak tirus—seperti stress dan kepikiran sesuatu secara berlebihan—kemilau hijau di kedua manik matanya tampak berkelabu dan berkabut karena suatu hal yang bahkan tak bisa dipecahkannya. Terlalu rumit. Terlalu kompleks. Terlalu...

Semu.

It turns out freedom ain't nothing but missing you,
Wishing I'd realized what I had when you were mine,
I go back to December, turn around and make it alright,
I go back to December all the time...

Ia menghentikan sejenak permainan gitarnya sebelum menatap langit biru yang memantulkan refleksinya di manik hijau itu. Beberapa pasang burung tampak melintas di atas arak awan putih yang membentuk berbagai macam koreografi. Namun fantasinya berkelebat dan mengarah pada suatu sketsa wajah. Wajah seorang pemuda yang amat dikenalnya—luar dan dalam—dengan surai cokelat keemasan yang jatuh tepat di tengkuknya, sepasang obsidian yang teduh, hidung bangir yang tegas, dan sebuah sunggingan pemanis di bawahnya.

Wajahnya.

Sesaat ia tidak bisa memilah seuntai kata dalam hati—walau tak harus terucap dengan bibir; namun semuanya tersampaikan.

Lewat hati.

Lalu sebuah getaran rindu dengan nyaring meneriakkan nama pemuda itu dalam gamangnya keasaan dan cinta. Rapuh dan begitu memorial.

Ia membiarkan dirinya kembali pada masa lalu—saat ia akhirnya menilik sedu sedannya potongan kenangan dalam sebuah nyanyian cinta.

Selamanya.

.

.

“Kau pasti Kim Youngmi, aku Kris.”

Itu adalah awal dari perkenalan mereka berdua. Satu pemuda dan satu gadis. Saling bertatap, beradu pandang untuk waktu yang tidak bisa dibilang sebentar.

“Ne, annyeong, Kris.” Suara gadis itu begitu merdu. Mengingatkan Kris pada sebuah alunan lagu indah di gereja-gereja Katolik setiap hari Minggu. Senyuman gadis itu melebar laksana sinar mentari pagi.

“Senang bertemu denganmu.”

Dan detik jarum jam seolah berhenti; saat kedua tangan saling menjabat—menyiptakan getaran cinta yang terjadi dalam waktu singkat.

Di relung hati masing-masing dalam dunia klasik yang tercipta saat itu.

.

.

Ia masih memandang kanvas alam yang kini berubah kelabu saat segumpal awan datang mendekat—menghalangi semua sinar yang akan menembus masuk ke dalamnya. Namun, gadis berperawakan mungil itu masih terdiam di tempatnya—bergeming. Menghela napasnya seperti tiupan angin.

Ia memejamkan matanya.

Hei, dia Kim Youngmi, ‘kan? Kemana seyum cerianya? Kemana aura happy-go-lucky yang melekat pada dirinya?

Entahlah. Ia hampir lupa caranya melengkungkan senyuman. Walau tipis, setipis sengauan batinnya saat ini. Ia berusaha. Ia mencoba. Dan ia masih di sana.

Saat ritmisnya rintik hujan menjadi alunan irama melodis untuk perasaannya saat ini, bagai pengantar kisahnya dan kisah pemuda itu dalam lantunan dan untaian suratan takdir yang terus berjalan, mengalir. Tak kenal lelah, tak kenal waktu. Karena begitu berwarna, begitu penuh kejutan.

Karena begitu mendalam, dan begitu abadi.

.

.

Kim Youngmi terkesiap saat atensi musim gugurnya menangkap siluet pemuda berambut coklat keemasan di bawah cahaya bulan. Pemuda itu membelakanginya, namun postur tubuhnya seakan mengisyaratkan bahwa penantiannya telah berujung.

Pemuda itu telah berada di sana, menunggunya. Seakan ia telah mengetahui kapan dan di mana tepatnya Youngmi akan datang. Seakan ia tahu apa yang terpatri dalam keinginan dan otak gadis itu.

Gadis itu mengerang. “Bagaimana bisa kau—”

“—berada di sini?” gumam pemuda itu, nada geli terselip dalam ucapannya. “Well, kurasa aku sudah pernah berkata, Young, telepati kita memang sangat kuat.”

Youngmi melangkah perlahan-lahan, menghampiri Kris. “Kau tahu aku akan ke sini?” Youngmi menyelipkan helai burgundy yang menjuntai di dekat pipinya; mendesah lamat-lamat.

“Tidak.” Kris terdiam sejenak. “Aku—”

Akhirnya manik obsidian yang terpejam itu tersingkap, dan menghujam atensi coklat hangat miliknya tanpa ampun. “Hanya tahu. Aneh, bukan?”

Youngmi tersenyum agak sendu. Sejenak hening, dan hening itu dimanfaatkan Youngmi untuk memuaskan dirinya menatap tubuh Kris yang tak tercela.

Youngmi tak mampu menahan dirinya untuk mengagumi setiap senti keindahan dari wajah maskulin itu. Pahatan yang nyaris sempurna. Ada keangkuhan di permukaannya, namun Youngmi tahu keangkuhan tersebut hanyalah kamuflase belaka. Kamuflase dari kerapuhan yang ada di dalamnya. Bahkan ia bisa melihat keletihan di kening dan sudut-sudut mata itu.

Namun Youngmi memilih untuk memejamkan mata, membiarkan turbulensi angin mengombang-ambingnya.

Dan sergapan bebunyian malam menerpanya.

Siulan angin, riak air danau, keretakan ranting dan serasah-serasah, juga kepakan sayap serangga yang terdengar mendominasi.

Kemudian, sesederhana itu ia merasa sebagian dari bebannya terangkat.

“Sekarang kau mengerti mengapa aku sering melewatkan waktu di sini,” kata Kris, masih menolak untuk melirik Youngmi. “Melodi-melodi di danau ini... Semuanya bagaikan lagu pengantar tidur.”

Youngmi tak menjawab.

“Semuanya menghilangkan kepenatanku.”

Youngmi membuka mulutnya. “Dan... hanya karena itu kau mengajakku ke sini?”

“Lihatlah ke langit,” jawab Kris pendek.

Maka Youngmi menengadahkan kepalanya, dan maniknya membulat.

Berbagai bintang terhampar di kanvas hitam langit malam. Dan gadis itu lebih terperangah lagi saat melihat konstelasi yang terbentang di atas.

“Indah sekali,” bisik Youngmi. Atensinya ia turunkan, menatap gaun putih yang dikenakannya melayang diterpa angin.

Kris menoleh ke arahnya, memandangnya tanpa berkedip. “Aku tidak setuju.”

“...Mengapa tidak?”

Mata Kris berbinar dengan hasrat di dalam kegelapan. “Karena ada yang menandingi keindahan konstelasi itu,” Kris membisik lirih, lalu tatapannya turun ke bibir Youngmi.

Tanpa dikomando, keduanya bergerak mendekat. Dan bibir Kris menemukan bibir Youngmi. Tangannya yang kekar bergerak untuk memeluk pinggang Youngmi erat, sementara tangan Youngmi meremas keras kaus yang dikenakan Kris.

Suara riak air dan kecupan turut mengisi keheningan malam. Bibir Kris melumat bibir Youngmi penuh kelembutan, seakan ranumnya bibir gadis itu adalah ceri terlarang dari surga.

Mereka melepaskan diri untuk menghirup udara sejenak, lalu kedua bibir itu menyatu kembali, dengan intesitas yang lebih pekat dari ciuman yang semula.

Oksigen keduanya kembali menipis dan dengan berat hati, Kris melepaskan pagutannya dan membenamkan wajahnya pada ceruk leher Youngmi. Gadis itu berbau susu manis.

“Apa kau kedinginan?” Kris bergumam, berhenti, kemudian memejamkan mata—mempererat rangkulannya di pinggang gadis itu.

Youngmi tak bisa menahan diri untuk membelai surai keemasan milik Kris. “Kalau begini posisinya, tentu saja tidak.”

Sejenak hening,hanya diisi dengan rengkuhan erat mereka untuk mengusir dingin.

“Aku mencintaimu...”

Dan bisikan lirih itu bagaikan lantunan melodi terindah sepanjang musim. Terucap dengan sejuta asa dan cinta yang meletup-letup, dengan semarak suka cita di hati sang pemilik suara.

Youngmi hanya tersenyum dan tak berkata apa-apa, malah membenamkan wajahnya ke dada Kris yang menjanjikan kenyamanan. Membaui aroma musk. Kembali berpelukan sambil bersenandung lirih. Tujuh belas detik setelahnya, terdengar lonceng berdentang.

Keduanya mendongak, menatap langit dengan semarak Natal di musim dingin. Ribuan orang berteriak suka cita. Kembang api melukiskan seninya pada kanvas malam. Lirihan salju menerpa. Senandung lagu Natal bergema indah. Lonceng berdentang berirama. Dan segala bentuk euforia menyenangkan yang tak luput dari mata. Rasanya begitu...

Menenangkan.

“Marry christmas, sweatheart.”

.

.

Air langit semakin deras jatuh dari ambang pelapis antroposfer tersebut. Butir-butirnya mulai membasahi kulit putih pucatnya. Helai katun yang dikenakannya mulai merembes—basah meresap dan menimbulkan sensasi dingin saat mengecap indera perabanya. Namun ia tidak peduli. Hujan masih rintik-rintik sebelum semuanya berubah deras; satu dalam kalbu.

Ia membiarkan fiksi mengarang takdirnya, saat akhirnya ia tak mampu lagi melukiskan perasaannya dalam relung kanvas putih tak bernoda—suci. Cinta suci yang tak tersampaikan. Yang akhirnya berakhir dengan sebuah goresan di sana-sini; goresan luka dalam hati, dan takkan pernah kering.

Saat akhirnya sebait kalimat puitis menjadi klise karena relung gelapnya kenangan yang menutup; ia menyerah.

Pada keadaan.

.

.

Why does this have to last so soon?

.

.

Sedari dulu Kris selalu benci perencanaan yang mendadak.

Waktu itu pukul lima, dan pemuda itu buru-buru memacu langkah ke sisi rumah. Menghitung jendela dan ruas papan kayu sebelum berhenti dan berharap seseorang tidak terganggu. Tangannya mengetuk daun pintu dan kemudian terdengar suara engsel dibuka. Kris bersumpah tidak pernah merasa lebih lega dari itu. Meski demikian, Youngmi terkaget melihat Kris, karena irisnya melebar menatap pakaian pemuda itu yang begitu rapi dan ranselnya yang siap di punggung.

“Ada apa?” tanya Youngmi, seolah ia tahu sesuatu yang buruk akan terjadi, namun juga seolah dia tidak tahu apa-apa

Kris tidak bisa memutuskan apakah Youngmi sudah mendapat firasat buruk itu lebih dulu atau belum. Ada yang mencekat lagi di tenggorokannya dan ia tak bisa melepaskan—ia membatuk dulu sebelum bicara.

“Aku akan kembali lagi ke Carolina Utara.” Tuturnya demikian, begitu pahit, begitu getir. Seolah Kris bisa melihat binar di iris gadisnya, seolah Kris bisa melihat pergerakan bibir gadisnya—ia menunduk, entah bagaimana tak mampu melihat mata gadis itu, dan membutuhkan lima detik untuk mengumpulkan kembali keberaniannya.

Dan Youngmi belum bisa mengatakan apa-apa.

“Berapa lama?”

Dari tatapannya, Kris tahu bahwa gadis itu ingin memastikan, bagaimanapun itu.

“Aku tidak tahu.”

Ada hening yang membelah setelahnya, seolah anginpun mati dan ciap burung terhenti. Youngmi hanya menatap Kris lama—mereka berdua sama-sama tahu akan ketidakpastian setelah ini, sebentuk perpisahan yang entah temporer atau permanen. Mereka sama-sama diam, mereka sama-sama meregang sunyi. Siapa yang tahu akan terjadi apa sehabis ini?

“Kau harus pulang.”

Kris bisa mendengar ada sesuatu di dalam suaranya yang pecah—seperti sesenggukan yang ditahan, meski matanya masih tampak tegar. Tangan Youngmi tidak terlepas dari kusen. Matanya tidak berhenti menatap milik pemuda di hadapannya.

Kris ingin mengiyakannya, Kris ingin memastikan padanya itu akan terjadi. Ia membenci fakta bahwa realita mengalahkan semua kata-kata dan emosi. Kali ini saja, Kris mengijinkan dirinya mengesampingkan rasio dan akal sehat; ia membiarkan kata-katanya bertaruh dengan nasib.

“Aku berjanji.”

“Pasti?”

Kris mengangguk, mantap dan yakin, di bawah cahaya pagi buta.

“Demi apapun.”

“Kau tahu apapun bisa terjadi di luar sana.”

“Dengarkan aku,” Kris mendekatkan diri pada gadisnya, menyentuh tangannya, “aku akan pulang untukmu. Aku berjanji. Kau tidak harus mengkhawatirkan aku.”

Youngmi tidak mengatakan apapun, maka Kris mencondongkan diri untuk menanamkan selamat tinggal di bibirnya.

Sekaligus menitipkan sebuah janji bahwa ia akan melihatnya lagi, yang bersemayam jauh di celah antara ranumnya dan ranum gadis itu. Terselip di sela jemari tangan mereka yang bertaut. Jatuh dari tetes mata gadis itu saat melihat Kris berlari pergi meninggalkan sejuta perih.

.

.

Alam kehilangan bahasanya mendengar sebuah bait cinta yang dilampirkan angin, ketika akhirnya ia sadar bahwa pemuda itu memilih pergi; ada sebuah degup jantung yang sempat berhenti. Saat akhirnya ia sadari sesuatu bahwa separuh jiwanya hilang entah kemana. Bahwa pemuda itu pergi dalam diam. Dan meninggalkan sejuta lara.

Sakit.

Bukan main.

Sempat didengarnya pemuda itu pergi ke Negeri Paman Sam tersebut untuk mencari pengobatan bersama Kakaknya, sejak diputuskannya awal perpisahan mereka hari itu—hari kelabu dalam rengkuhan sunyi yang menjadi saksi bisunya.

Ia bahkan tidak tahu di mana pemuda itu hingga saat ini, ia berusaha mengeluarkan banyak biaya dan waktu untuk melacak sang kekasih hati, namun pemuda itu tampaknya benar-benar hilang—seolah dia tak ada.

Berbagai pertanyaan sempat menyeruak di hatinya; apakah pemuda itu akhirnya sembuh? Apakah pemuda itu telah menemukan belahan jiwanya yang lain di sana? Ataukah...

Tidak.

Ia takkan pernah siap.

Kali ini ia menatap kelabu dalam senyap. Ia ingin menuliskan nama pemuda yang paling dicintainya di dunia ini dengan sebuah pena, ia ingin menuliskannya lagi dalam ruang waktu, dimensi, dan hati.

Bolehkah?

Hujan semakin deras turun membasahi kepalanya, bahunya... dan seluruh tubuhnya. Dingin menerpa, namun ia berharap dingin itu mampu membekukan hatinya—supaya tak ia rasakan apa-apa lagi. Semua terlalu hampa—dan hambar.

Tanpa sebuah cinta yang diingininya di sana.

Kelabu langit seolah menjadi bumerang bagi kisah cintanya yang kandas tak berujung namun terukir begitu dalam sampai ia lupa bagaimana caranya menghapus air mata yang dengan beningnya kini mulai mengalir. Dibiarkannya dirinya menangis kali ini di bawah naungan langit yang seolah menutupi kesedihannya, kekecewaannya—namun ia tidak peduli. Biarlah ia melepas lelah akan penantiannya yang entah akan berakhir seperti apa nantinya.

Semua karena cinta; cintanya yang statis untuk pemuda itu. Cinta statis, yang tidak akan bergeser semilipun. Tetap di hati, namun dibiarkannya melambung tinggi di atas angan saat mimpinya tak lagi dapat meraih dan menggenggam seonggok kebahagiaan kecil dari seorang pemuda yang begitu berharga untuknya—begitu berarti. Dan takkan terlupakan.

Walau ia akhirnya merasa lelah untuk menanggung penantian tak berujung—saat itulah ia akan menyerah pada kenyataan. Walau rapuh.

Hujan lebat kembali menjadi rintikan, saat segalanya mengingatkannya pada sebuah bahasa cinta yang meredung dalam kesatuan langit kelabu.

Kau dan aku. Kita.

Kris... dibisikannya dengan lirih nama itu dalam goresan hati, saat dirinya terbawa dalam sebuah arus kenangan yang menerjangnya tanpa henti.

Desember kelabu.

Dengarkah kau akan bahasa langit dan bisikan kalbu tentang cinta?

Aku merindukanmu. Selalu.

-FIN-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar